Selamat malam selasa bareng Lian.
Yang pengen nonton keributan, siapkan berondong jagung sama kopinya ya. 😂😂
- - - - -
Ini jelas bukan pertama kali aku menginjakkan kaki di kediaman keluarga Aulian. Kala Ibu masih hidup dulu, beberapa kali Mama Novi sering memanggil Ibu untuk membantu memasak tiap kali rumah ini membuat acara. Tentu saja berkat dari bujukan setengah pemaksaan dari Ibu, aku sedia mengekorinya. Alih-alih membaca buku atau menonton televisi berdua dengan Zahra, aku lebih suka memotong-motong sayuran bersama Ibu dan Mama Novi di dapur. Bukannya minder karena pakaianku tak secemerlang milik gadis itu, aku hanya merasa tak selingkar saja dengan Zahra.
Masa itu, perlakuan Mama Novi masih begitu halus, bak ibu peri yang menebar ribuan senyum dan perhatian. Dia masih memandangku seolah aku anaknya sendiri. Dia menawari makanan ini dan itu. Dia tak sungkan memuji rambutku yang panjang hingga menyentuh pinggang. Dia juga mengelu-elukan keahlian memasakku yang belum seberapa.
Tapi itu jelas sudah berlalu. Seperti masa yang berubah, cara Mama Novi memandangku juga tak lagi sama. Hari di mana wanita paruh baya itu menjenguk Ayah di rumah sakit, seminggu sebelum pernikahanku, lalu hari di mana pernikahanku berlangsung sudah menjelaskan seberapa Mama Novi membenci keberadaanku yang dengan sengaja memanfaatkan kebaikan anaknya. Suara halus berganti nada ketus. Binar memuji beranjak jadi binar kebencian.
Untuk semua itu, wajar jika aku sedikit berdebar tatkala mobil Aulian berhenti di halaman luas rumah cukup megah ini. Rasanya aku ingin pulang saja. Bukan aku takut, aku hanya malas berdebat dengan Mama Novi. Dosaku sudah cukup banyak. Menggerutu di belakang punggung Mama Novi sama saja dengan menimbun gunungan dosa yang lain. Lagipula, keberadaanku juga tak akan membuat kesehatan emosi Mama Novi membaik. Yang kutakutkan, Mama akan mudah darah tinggi jika terus menerus menemukan napasku di sekitarnya.
"Santai aja. Nggak ada yang perlu kamu takutin."
"Apasih? Siapa yang takut?"
"Wajahmu pucat Salwa," Aulian tersenyum mengejek. "Pokoknya dengerin omonganku. Kalau Mama udah mulai nyindir-nyindir kamu, kamu cukup diam. Biar aku yang bikin Mama berhenti."
"Ya kalau kamu pas ada. Kalau kamu pas nggak ada gimana?"
"Tetap diamin sampai Mama berhenti sendiri. Kamu bisa ngadu ke aku setelahnya, aku yang akan bicara baik-baik sama Mama nanti."
"Habis itu, aku disinisin lagi sama Mamamu. Aku dibilang tukang ngadu lah. Aku ginilah, gitu lah. Males banget punya Mama sinis kayak gitu."
"Sal, jangan ngomong gitu lah."
"Memang kenyataannya begitu, Mas. Mama itu—"
"Seperti aku yang nggak suka saat Mama ngungkit yang jelek-jelek tentang kamu, aku juga sama nggak sukanya kalau kamu mengungkit yang jelek soal Mamaku."
Apa artinya kalimat itu? Aku sulit menelaahnya.
"Nggak ada yang buruk dari kalian. Di mataku kalian itu sama, setipe, suka membohongi diri sendiri. Suka memperburuk citra diri sendiri. Mama bersikap seolah Mama yang sinis. Kamu bersikap seolah menantu yang kurang ajar. Padahal aslinya nggak begitu. Aku kenal siapa Mamaku dan bagaimana dia memperlakukanmu dulu. Dan kamu, kita memang nggak pernah deket sebelum ini. Tapi yah, sedikit banyak aku ngertilah gimana kamu hobi pakai topeng untuk menyembunyikan beberapa perasaan."
Aku terbelalak dengan penilaian semena-mena yang Aulian beri. Sejujurnya aku ingin meneriaki dia agar berhenti jadi merasa paling tahu kepribadianku. Tapi semua itu urung karena dia lebih dulu mematikan beberapa syaraf lewat ketukan singkat jarinya di pucuk hidungku. Dia mengatakan ayo, lalu membantuku menyentak sabuk yang melilit tubuh. Saat sepasang kaki kami sudah menapak pada rerumputan yang sama, Aulian seperti mencoba mencari jemariku. Tegas aku menghindar.

KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI
Ficción GeneralSalwa tersesat. Ayah mengirimkan seseorang untuk membawanya Kembali.