Jalan pelan-pelan ya. Semoga sabar nemenin aku.
Semoga menikmati.
Semoga ingat vote dan komenannya juga. 😁😁- - - - -
Sepi, bukan suatu keadaan yang baru untukku. Sudah jadi santapan tiap hari sejak bertahun-tahun lalu, hingga sama sekali tak membuatku gentar meski harus terjebak di antaranya lagi untuk ke sekian kali. Ayah tak usah khawatir soal itu. Karena berkat dia-lah aku berteman begitu akrab dengan sepi yang mencekam.
Rumah ini memang sudah sepi sejak lama. Tiga penghuninya terlalu pasif. Terlalu nyaman memenjara diri sendiri dalam kediaman. Tak banyak obrolan yang tercipta di ruang-ruang yang ada. Tak ada sendau gurau yang kuingat, meski tiap pagi kami menghabiskan sarapan bertiga lalu berbagi atap yang satu saat malam telah datang. Kalau ada suara cukup keras yang kudengar, sungguh, itu hanya sebentuk teriakan penuh protes milik Ibu. Selebihnya, hanya desau angin yang seolah jengah menyaksikan kebisuan kami.
Hampa, aku bisa mengatasinya dengan baik. Kosong yang menyedihkan itu, mungkin hanya akan benar-benar terasa apabila aku mengurung diri di rumah kecil nan pengap ini. Karena jika saja aku sedia keluar, aku akan dengan mudah menemukan keramaian. Meski tak banyak, ada pula segelintir orang yang dengan rajin menyapaku. Entah tulus atau tidak, mereka berusaha membawaku masuk pada lingkar yang mereka miliki.
Kelihatannya menyenangkan, sesekali aku tergiur pada hari penuh warna yang mereka miliki. Tapi sayang aku tidak pernah bisa memajukan selangkah kaki, untuk meninggalkan batas nyaman dan amat yang telah kupatenkan. Rasa sepi ini memerangkap kakiku dengan kuat. Dia mengajari bagaimana cara bertahan meski terluka. Dia memanduku jadi gadis yang kebal, meski dunia bersekongkol untuk menghancurkanku. Jadi sekalipun sepi itu sakit, aku merasa ini adalah tempat paling aman untuk menghindarkanku dari jenis luka lainnya.
Jadi, iming-iming Ayah semalam itu hanya sia-sia belaka di telingaku.
"Nggak kerja, Sal?"
Yang sedang kupikirkan sejak tadi muncul pula dari kamarnya. Aku yang sedang menonton televisi hanya melirik dari ekor mata tanpa minat berarti. Dan demi apapun, aku bisa melihat cekungan dalam di dua netranya. Dia tampak pucat, wajahnya lebih kuyu dari yang biasa kutemui.
Sebagai jawaban untuk pertanyaannya, aku cukup menggeleng malas. "Obatnya beneran diminum nggak sih, Yah? Semalam Ayah ganggu orang tidur tahu, nggak," tambahku bertanya sekaligus memprotes. Sungguh, semalam Ayah batuk hampir tanpa jeda. Membuat aku berkali-kali terbangun lalu gusar sendirian di atas ranjang.
Dia boleh sakit, tapi apa harus mengganguku begitu?
"Namanya batuk, Sal. Susah-susah gampang nyembuhinnya."
"Ya Ayah usaha dong. Kalau obat yang diminum nggak mempan, cari obat merek lain. Kalau nggak punya uang ngomong. Aku mending keluarin uang, asal Ayah bisa berhenti ganggu tidurku gitu."
Ayah mengulas senyum, napasnya terlihat begitu berat untuk dihela. Sepertinya dia lebih suka membuat omelanku berlalu tanpa balasan, dibanding mengingatkanku soal seberapa kurang ajar kata-kata yang kueja dengan sinis. Sekarang, dia memilih berlalu menuju dapur dengan menyeret dua kakinya. Dia terlihat ringkih, terlihat membutuhkan sebuah penopang.
Tapi itu bukan jadi tanggung jawabku, kan? Dia sudah cukup tua untuk bisa mengurus dirinya sendiri. Dia lebih dari dewasa, untuk sadar dengan tak mengharapkan perhatianku sedang aku saja tak pernah ia teliti dengan serius.
Jadi meskipun perlu dengan banyak usaha, aku mencoba mengabaikan Ayah yang sedang entah apa di dapur sana. Aku berusaha membawa seluruh otakku ke televisi, hanya televisi. Berusaha menulikan telinga pada batuk pertanda sakitnya. Aku merasa telah menang dari pertarungan batinku sendiri. Tapi rupanya aku kalah, karena kakiku sontak berlari begitu mendengarkan suara benda terjatuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI
Narrativa generaleSalwa tersesat. Ayah mengirimkan seseorang untuk membawanya Kembali.