Masih di pemanasan.
Ngga sempat edit, tandai typonya saja ya.
Thanks and Luv.
- - - - -
Sekarang hampir tengah malam. Aku belum tidur, namun rasanya sudah ada selingkup mimpi buruk yang berusaha mencekikku. Sedang mendesakku ke dinding, menghentikan pipa-pipa udara yang mengalir di bawah kulit.
Kuanggap aku salah mendengar. Kupastikan getar-getar yang menyusup ke telingaku tadi tak ada bedanya dengan dengingan nyamuk-nyamuk kelaparan. Aku hanya perlu pura-pura tidak mendengar, lalu suara nyamuk itu akan berlalu kemudian. Tapi suara nyamuk tentu tak sebegini berat. Lagi, hanya akan meninggalkan rasa kesal sebab terganggu, bukan takut sebab dibuat gundah tak menentu begini.
Aku bahkan sudah hampir melupakan suara beratnya. Getar-getar itu cukup asing, tapi terasa familiar pula. Masa remaja yang membuat kami bertemu, tak meninggalkan kedekatan yang berarti. Dia hanya kebetulan kakak dari salah satu teman kelasku. Dia hanya kebetulan juga jadi anak dari boss toko roti di mana ibu menggantungkan rezeki. Dia hanya Aulian, nama yang bahkan hampir kulupakan eksistensinya. Pria yang semula cukup hangat, lantas berubah dingin. Pria yang sejak awal hanya boleh kusapa singkat, lantas berlalu begitu saja tanpa bekas.
Tak ada apapun yang terjadi di masa lalu. Segumpal bernama hati, tak pernah ikut ambil bagian kala itu. Sungguh, aku dan dia hanya saling mengenal nama. Tak banyak cerita, tak banyak sebab untuk keadaan kaku semacam hari ini. Semua terjadi begitu alami, seolah langit dan bumi memang tak menghendaki sesuatu terjadi di antara aku dan dia. Setelah aku dan Zahra berpisah sekolah, setelah ibu jatuh sakit lalu meninggal, aku dan dia sudah bukan lagi jenis orang yang perlu bertukar sapa.
Lalu, ini apa? Pernyataan tadi, rasanya aku tidak mungkin salah mendengar.
"Salwa?"
Aneh sekali mendengar pria ini menyerukan namaku berulang-ulang. Ada rasa tidak nyaman, mungkin sebab terlalu seringnya pria itu mengabaikan keberadaanku dulu. Catat, aku tidak sedang merajuk. Sungguh, aku tak pernah mengeluh meski tak pernah dilirik, meski tak pernah mendapatkan perhatian si pria idola teman-teman sekelas dulu
"Sudah sangat tengah malam, btw, Mas. Kamu tahu di mana letak pintunya. Jadi, terima kasih untuk bantuanmu." Aku memilih mengusirnya secara halus. Biar bagaimanapun, pria ini datang dengan keperluan yang baik. Durhaka-durhaka begini, aku masih bisa menempatkan diri.
"Kamu bukan lagi Salwa umur lima belas tahun yang suka lari dari kenyataan, kan?"
Wah, tuduhan macam apa itu? Tudingan setajam apa yang sedetik setelah terlepas dari lidah saja langsung sanggup menyayat hatiku dengan cukup lebar. Aku menajamkan mata. Amarahku tersulut dengan mudah. Sungguh, pria ini hanya tahu kulit yang membelenggu daging dan tulangku. Dia tak pernah tahu bagaimana hatiku di dalam sana pernah remuk redam. Dia tak pernah tahu bagaimana paru-paruku sering kehabisan udara sebab menanggung banyak sesak. Dia tak pernah tahu, bagaimana rupa darahku setelah merasakan pergolakan-pergolakan batin yang mendera. Dia tak tahu itu semua, dan berani-beraninya dia mengukurkan sebagai gadis yang suka melarikan diri.
"Jangan sembarangan bicara. Kapan aku melarikan diri dari kenyataan?"
Dia mendengus, "orang-orang biasanya memang seperti itu Sal. Dia kira, dia sedang menyembuhkan diri. Padahal tidak, dia sedang lari dan seolah menolak kenyataan."
"Berbelit-belit," tukasku semakin sinis. Kulirik jam yang melingkar di pergelangan, sekadar memberikan gerakan menyindir pada pria yang kuyakin dianugrahi kepekaan yang cukup. "Sekali lagi, aku minta dengan sopan. Pulang, Mas. Pulang, lah."
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI
Fiksi UmumSalwa tersesat. Ayah mengirimkan seseorang untuk membawanya Kembali.