Lamanyoooo. Mian, di rumah lagi ada acara sampai ndg sempet buka wattpad. 😁😁
Tandai typo deh, aku ngedit sambi ngantuk soale.
- - - - -
Berbicara tentang Ayah, aku juga tak seberapa yakin saat mengatakan bahwa kesehatan si tua renta itu membaik setiap harinya. Yang terlihat dengan mataku, badan Ayah cenderung mengering. Kulit-kulitnya terlihat keriput. Rambut yang dulu tumbuh lebat, kini bahkan sudah habis tanpa sisa. Aku bahkan tidak tahu di mana Ayah membuang semua rambutnya yang lepas dari akar—Ayah menyimpannya seorang diri. Beberapa kali masih kudengar batuk Ayah yang mengerikan. Di dalam tong sampah kamarnya, sering kutemukan gumpalan tisue dengan bercak merah di sekitarnya.
Tapi, Ayah masih tidak pernah mengeluh. Dia masih dengan senyum, saat aku datang dengan beberapa jenis obat yang wajib ia teguk. Ayah sungguh tak pernah menunjuk dengan jelas di bagian mana dia merasakan sakit dan nyeri. Dia lebih memilih mengunci bibir sambil memejamkan mata manakala ada yang menyiksa tubuh ringkihnya. Aku sendiri masih terlalu gengsi untuk mengkhawatirkan keadaannya.
Dokter bilang, Ayah cukup tangguh melawan sel-sel ganas yang menggerogoti tubuhnya. Entah pujian atau sebentuk semangat, tapi dokter selalu mengatakan bahwa bukan tidak mungkin Ayah lah yang akan keluar sebagai pemenang dalam laga antara manusia dan penyakit ini. Masih dari dokter, kanker memang ganas, tapi mukjizat jauh ganas jika sudah ada dan bertindak.
Tapi ya sudahlah. Tak usah diperdebatkan soal mukjizat yang entah nyata atau tidak itu. Yang terpenting, aku harus selalu menumbuhkan pikiran-pikiran baik di antara menjamurnya ketakutanku.
"Soal laki-laki tadi, jangan terlalu deket sama dia, ya, Sal?"
"Daripada banyak komentar, lebih baik Ayah tidur," sahutku sinis setelah badan Ayah selesai kubantu berbaring di atas ranjang kamarnya. "Ayah itu tugasnya cuma satu, sehat. Nggak usahlah ngurusin kehidupanku lagi. Aku udah gede. Aku tahu mana yang bagus untukku, atau mana yang ngasih akibat buruk ke aku. Jadi, stop rewel. Oke?" tambahku lagi.
"Sal..."
Aku menolak mendengar apapun, "tiga jam lagi aku balik ke sini ngantar obat yang harus Ayah minum. Sekarang, tidur. Aku banyak kerjaan."
Itu cukup membuat Ayahku mengangguk, aku keluar dari kamarnya yang berbau dengan obat. Pintu tertutup, dan udara di luar kamar Ayah yang jauh lebih segar membuat paru-paruku ikut tersenyum pula. Aku menarik napas banyak sekali, sebelum mengajak tubuhku kembali bertempur dengan segala bentuk pekerjaan rumah.
Ini sudah pukul tiga. Ada banyak pakaian yang harus kulipat. Ada pula meja makan yang musti kuisi dengan makanan yang lezat. Pikirku sebelumnya, pengangguran dengan rumah gedongan adalah sebuah kenyamanan yang tak terkira. Rupanya tidak juga. Aku memerlukan tenaga yang lebih besar, untuk memastikan setiap sisi rumahku bersih dan tidak berantakan. Saat-saat seperti ini, aku jadi terpikirkan meminta pada Aulian untuk dicarikan seorang asisten. Tapi sepertinya itu tidak mungkin akan terjadi. Bukan soal Aulian pelit, tapi lebih ke Mama mertuaku yang pasti akan mengkategorikanku sebagai menantu manja dan pemalas.
Jadi mari sudahi bermimpi hidup bak permaisuri di istana sendiri.
Aku memulainya dari ruang laundry. Pakaian yang sudah kering, masih menumpuk dalam satu keranjang. Urusan melipat itu mudah, menyeterika yang rasanya berat bukan main. Biasanya hanya beberapa jenis pakaian saja yang kuspesialkan untuk ditindis besi panas itu. Sekarang, aku selalu terngiang-ngiang ucapan Mama soal pakaian Aulian harus rapih dan licin. Maka mau tak mau, aku harus menyeterika seluruh jenis kaos, kemeja, bahkan celana panjang dan pendek milik suami tampanku.
Seluruh lipatan itu kubawa naik ke lantai dua. Pakaian hadiah dari suamiku kemarin, jelas kuletakkan di bagian paling bawah. Saat menyusun pakaian Aulian di dalam lemari, aku menemukan satu hal janggal yang lain. Jika di butik kemarin, Aulian jelas-jelas menyingkirkan warna hitam maka sekarang tumpukan baju pria itu hampir serupa dengan tumpukan baju milikku. Berwarna-warni, nyaris tidak ada satupun warna gelap pekat di sana, kecuali sehelai celana resmi.

KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI
Fiksi UmumSalwa tersesat. Ayah mengirimkan seseorang untuk membawanya Kembali.