17 -- Cahaya di Wajahnya

15.7K 2.4K 368
                                    

Akutuh, sebenarnya ndg ada niat mau kayak penulis lain yang libur update demi fokus ke ibadah. Aku lama banget ndg update cuma karena kehabisan kuota lalu diserang ketermalasan keluar dari rumah. Mian, yaaa. 😁😁😁

- - - - -

Mau tak mau, aku harus mamapah motor sekitar setengah kilometer jauhnya, demi mendapatkan sebuah bengkel. Dari anak muda yang bekerja di sana, aku tahu bahwa ada sebuah paku dengan ukuran yang cukup besar telah menancap pada ban. Padahal aku yakin sekali motorku baik-baik saja hingga kutinggalkan. Jadi ini sudah sangat jelas, seseorang memang dengan sengaja ingin membuatku sengsara.

Dihampiri dugaan semacam itu, aku jadi mengajak hati dan otak untuk menilai diri. Selama ini meskipun aku terkenal suka berbicara frontal dan sedikit sombong dengan lingkungan, tapi sepertinya tidak ada yang terang-terangan membenciku. Seluruhnya terasa baik-baik saja. Aku tak merasa memiliki musuh besar yang kini sedang bersembunyi di sudut gelap untuk mengambil satu kesempatan emas demi bisa menikam leherku hingga putus.

Lalu kejutan ini muncul tanpa aba-aba.

Bias-bias negatif mulai bersulur di dalam otak. Aku teringat akan Aldi, yang dalam beberapa detik sebelumnya lepas kulempari kata-kata tak berhati. Pria itu punya alasan kuat untuk sekadar memberiku ganjaran. Tapi batinku menolak setuju. Rasanya Aldi bukan jenis pria banci semacam itu.

Pernah juga ada detik di mana aku menjadikan Talia sebagai kemungkinan tersangka. Patah hatinya dengan Aulian, bisa jadi alasan untuk membuat gadis cantik itu kesal dan marah padaku. Dan untuk kedua kali, batinku menyangkal keras. Talia memang menyebalkan, tapi gadis itu sama sekali tak kenal dengan kriminal. Badung-badung begitu, Talia paling takut dengan polisi.

Praduga-pradugaku bertemu dengan lorong buntu. Aku mendesah hebat tanpa mendapatkan jawaban. Tak ada seseorang pun yang bisa kupersalahkan. Segalanya terlampau mustahil, jadi kuputuskan untuk melepaskan sejenak—seseorang yang sedang ingin mengajakku berkelakar dalam artian negatif. Mungkin, aku perlu bertingkah seolah tak gentar untuk memancingnya kembali keluar.

"Mas, kenapa motorku nggak dipegang-pegang? Ini sudah sore, loh."

"Sabar Mbak ya. Budayakan antre."

Aku merengut mendengarnya. Tahu bahwa motorku tak akan rampung dalam waktu cepat, aku meninggalkan bengkel menuju sebuah minimarket di seberang jalan. Tenggorokanku kering, hatiku panas bukan main. Tangan-tanganku juga terasa perih, aku perlu alkohol dan plaster untuk menghalau luka-luka itu tertempeli oleh bakteri.

"Salwa."

Mendengar suara yang familiar, aku memutar leher. Kutemukan Zahra yang kebetulan sekali berada di warung kopi di sisi minimarket. Setelah kupikir-pikir, jalan ini memang berada di dekat kampus Zahra. Jadi wajar, jika kemudian bumi terasa menyempit hanya karena aku harus bertemu dengan adik iparku itu dalam suasana hati semacam ini.

Tergopoh-gopoh gadis itu menghampiriku. Kerudungnya yang panjang berkibar-kibar tertiup angin. Zahra rupanya tidak sendirian. Ada gadis dengan raut sedikit lebih dewasa mengekori langkah kaki Zahra yang tergesa.

"Kok di sini?" serobotnya, begitu berada di hadapanku.

"Ada urusan di dekat-dekat sini."

"Urusan apa? Kenapa nggak ngajak aku?"

"Karena memang nggak ada urusannya sama kamu."

Dia tertawa untuk kesinisan yang kulontar. "Kakimu kenapa? Kuperhatikan, jalanmu agak pincang-pincang tadi."

"Meleng pas jalan. Nubruk lah paving. Udah ya, aku mau ke minimarket dulu."

Kali ini Zahra menatapku dengan geli. Dia berusaha menuntun langkahku, aku menolaknya dengan halus. Tapi Zahra tetaplah gadis keras kepala yang tak bisa ditangkal. Dia tetap menggapai tanganku, dibimbingnya tubuhku menuju kursi-kursi di teras minimarket. Kubanding-bandingkan otoriternya gadis itu dengan Aulian, dan mendadak Zahra seolah teringat akan sesuatu.

KEMBALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang