11 -- Bunga Tidur Warna Hitam

15.1K 2.1K 333
                                    

Halo, sedang nunggu siapakah dirimu?😊😊

Yang nungguin malam pertama, maafkan ya. Mungkin adegan itu akan ditunda sampai Maknya Salwa ini ngalamin sendiri. 😆😆😆

Terus, kayaknya agak sensitif dan horor deh konten di part ini. Bukan berkaitan sama hal vulgar. Cuma nyerempet soal kepercayaan gitu. Jadi aku mau minta maaf duluan, kalau misal ada yang nggak sreg ya. Aku ndg bermaksud apapun. Cuma pengen bantu Aulian supaya si Salwa ketemu sadar lalu 'jalan kembali' aja. 🤗🤗

Btw, POnya Haikal sama Abyan tinggal tiga hari lagi loh. Jangan sampai lupa lalu ketinggalan ya. 😘😘😘

- - - - -

"Sal?"

Aku menoleh, senyumku merekah. "Ya, Bu?"

"Badan Ibu sakit semua," ujar Ibu sembari memijat-mijat lengannya. Sesekali dia menekuk leher dan menghasilkan suara seolah patahan yang bisa kudengar dengan jelas. "Tulang Ibu rasanya juga linu yang parah. Kayak mau lepas satu-satu."

Televisi yang sedang menampilkan acara kesukaanku begitu mudah kuabaikan untuk sekadar meneliti wajah Ibu dan segala keluhannya yang datang. Aku tahu benar, Ibu hampir tak pernah mengeluh. Jadi saat dia mengatakan sakit, maka itu sungguh-sungguh sebuah sakit yang tak bisa lagi dipandang sambil lalu keberadaannya.

Berapa hari aku tak melihat Ibu? Mengapa aku merasa, lengan yang kugenggam semakin kurus kehilangan banyak daging. Mengapa aku merasa mata Ibu jauh lebih cekung dari biasanya.

"Aw aw, pelan-pelan, Sal. Sakit..."

Tersentak, aku jadi semakin hati-hati hanya untuk memegang lengan Ibu yang jadi dua kali lebih ringkih. Mataku melebar saat melihat bekas-bekas lebam yang bercecer di lengan dan beberapa tempat lain. "Ada yang mukul ibu? Siapa?" kejarku meminta pengakuannya.

Ibu memandangku bingung, "pukul? Ibu selalu tidur, nggak pernah ketemu siapapun lagi sekarang."

"Nggak mungkin, Bu," jawabku mendengar perkataan Ibu yang jelas tak masuk di logika. "Lihat lengan Ibu, lebam di mana-mana. Ini jelas bekas pukulan benda tumpul, mungkin itu kayu, batu, atau lain sebagainya. Sekarang Ibu jujur sama Salwa siapa yang sudah ngelakuin ini ke Ibu? Kapan kejadiannya, lalu di mana? Ini nggak bisa dibiarin. Ibu harus lapor ke polisi. Atau ini kerjaan Ayah? Iya, ini kerjaan Ayah, kan?" racauku panjang lebar. Aku tak bisa melihat satu-satunya orang yang kukasihi teraniaya begini.

Sebuah senyum bercampur ringisan muncul di wajah Ibu yang pucat pasi. Dia memanjangkan kembali lengan panjang yang sempat kusingsingkan hingga atas. "Ah, Ibu ingat sekarang."

"Siapa? Ayah pasti," tuduhku lagi.

Ibu menggeleng, "bukan. Kayaknya sih malaikat."

Aku tercekat tepat di tenggorokan. Ibu mungkin sedang bercanda, tapi mengapa wajah yang ia bawa sama sekali tak mengabarkan sebuah lelucon. Tersendat, aku bergumam "apa?"

"Ibu sedikit nggak yakin, tapi memang sepertinya malaikat..."

"Bu..."

"Ibu sedang tidur nyenyak sekali, saat dengar langkah kaki-kaki itu. Ibu baru mau bangun, dan pukulan, hantaman, bahkan tendangan lebih dulu kerasa. Sakit banget, Sal. Kayaknya Ibu sampe pingsan. Pantas sekarang tulang ibu rasanya mau rontok semua."

Jantungku seperti di remas tangan-tangan besar saat telingaku menolak untuk mendengar. Aku mundur selangkah, rasanya hatiku pecah mendengar keluhan yang Ibu dengungkan. Aku tak biasa menangis, tapi entah mengapa melihat ibu meringis menahan sakit membuat air mataku jatuh tak terbendung. Aku mundur kian jauh. Raungan suara ibu mengejarku.

KEMBALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang