Ada yang jomblo di malam minggu kali ini? (☝)
Nih, tak bawain Lian buat nemenin kamu senyum dan berhenti meratapi nasib. 😆😆
- - - - -
Di dunia ini, Aku hanya punya satu Ayah. Di mana ketika aku telah pandai mengeja huruf dan menghitung angka, aku hanya mengingat abai yang ia tebar. Aku sama sekali tak ingat tangan kuat itu mengayunkan tubuh kecilku di udara. Aku tak pernah ingat tubuhku ditimang dalam dekapan saat tangisku pecah. Aku bahkan yakin, Ayah tak memberiku pelukan saat satu-satunya tempatku bersandar memejamkan mata tak sedia bangun lagi.
Ayah dan segala tak acuhnya membuat nilai seorang laki-laki meluncur jatuh dengan telak. Tak peka, berhati beku, egois, dan sifat-sifat negatif lainnya selalu kusematkan bersama dengan suara berat yang mereka miliki. Tak terasa, benteng terbangun bersama dengan waktu yang berlalu. Aku memiliki istanaku sendiri dengan segala jenis kebahagiaan yang bisa kunikmati. Dan tentu saja, laki-laki bukan bagian dari hal-hal yang ingin kumiliki. Bukan bagian dari semua yang pernah kucita-citakan.
Jadi bukan sebuah kebohongan, jika sekarang jantungku jumpalitan tak jelas rasanya. Sengatan listrik yang merambat lewat sebuah pergesekan antara lenganku dan lengan Aulian di kursi pelaminan tempo hari, sungguh tak ada apa-apanya dibandingkan dengan ini. Aku sampai tak bisa menggambarkan suasana di pengujung sore ini dengan kata per kata. Yang bisa kumengerti, semua dalam tubuhku bergolak dengan hebat. Aku seperti berada di antara hidup dan mati saking bingungnya dengan berbagai reaksi yang berpicu dalam satu waktu.
Dinding-dinding kamar tanpa bibir itu, mungkin sedang menertawakan ketakberdayaanku. Hati kecilku bahkan berteriak lantang di dalam sana, mengatakan ini sangat tidak benar. Tubuh Aulian yang memerangkap tubuhku terasa begitu keliru. Jantungnya yang bertemu dengan jantungku hingga menciptakan sahut-sahutan detak, sudah jelas adalah sebuah berita buruk. Aku membenci ini. Sungguh, aku tak pernah suka ide dipeluk oleh kaum Ayahku. Sekarang, aku membutuhkan seluruh akal sehat yang entah melanglang buana hingga bumi mana.
Jadi, tak salah jika kusebut Aulian adalah sebentuk virus berbahaya. Memelukku saja, pria ini sanggup menguras habis isi dua kantong paru-paruku. Entah apa yang akan terjadi pada tubuhku, apabila pria ini melakukan hal yang lebih intim. Apa aku bisa mati hanya karena bibirku—
Kuat aku menggeleng. Menolak bayangan mengerikan yang menghampiri imajinasi.
“Mas.”
“Ya?”
“Lepas !”
Dekapan itu terhapus, berjuta-juta udara berbaik hati menyambangiku lagi. Tubuh ini masih setengah kaku saat Aulian mencengkeram dua pundakku. Tak ada kata-kata yang dia lepas, tapi dua matanya seakan memerintahku untuk berdiam di dua netranya. Betapa tidak adil keadaan. Di saat aku kehilangan sebagian nyawa, mengapa Aulian tampak tak berdampak sama sekali?
“Udahlah cemberutnya,” pria itu masih dengan tawa. Dia kembali menyentil hidungku, tak peduli dengan betapa garang muka yang kupasang.
Dia tetap tenang, kendali tubuhnya tidak berkurang. Mungkin memang begitulah seyogyanya seorang laki-laki. Sedikit berperasaan, memiliki banyak sekali kamuflase untuk setiap tindakannya. Pelukan jelas bukan sesuatu yang krusial lebih-lebih membekas dalam penggal-penggal ingatan.
"Mau kukasih tahu satu rahasia?”
Aku mendengus, menyentak tangan Aulian dari sekitaran pundakku. Memangnya dia kira aku mudah dibujuk dengan iming-iming receh macam itu?
“Dengerin dulu,” dia bertahan dengan kekehan riangnya. Berkeras kepala pula dengan menguasai dua pundakku. “Sejujurnya masakanmu memang lebih enak dibanding masakan Mama. Aku rasanya pengen cepetan ngajak kamu pulang, supaya bisa makan masakanmu lagi. Cuma aku nggak mungkin ngelakuin itu, kan?” jelasnya, tidak dengan menahan tawa. Seolah tak ada candaan dalam setiap kata. “Tapi, ini rahasia kita berdua. Simpan untuk kita berdua saja. Mama atau siapapun, nggak perlu tahu kalau masakanmu itu memang juara.”
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI
General FictionSalwa tersesat. Ayah mengirimkan seseorang untuk membawanya Kembali.