Bab ini panjang loh. Hati-hati pada tikungan bernama bosan dan tanjakan bernama ngantuk ya. 😁😁
Aldi akan ngeksis lagi di sini. Mayan, bikin Salwa goyah dikit lah.
- - - - -
Ambil atau batal.
Ultimatum itu masih berdenging-denging di telingaku meski sang bulan sudah kembali tidur di peraduannya yang hangat. Padahal aku sudah berkendara belasan kilometer, memiliki jeda untuk mengobrak-abrik seisi lemari guna menemukan selembar sertifikat tanah. Sekarang pun, hari sudah cukup siang. Tapi otakku masih saja bekerja untuk menimbang dan memperkirakan banyak hal yang bersinggungan dengan ancaman yang serta merta Aulian lemparkan padaku semalam.
Hingga kemarin, aku bahkan sudah sangat mantap. Keraguan dan ketakutanku berhasil kusingkirkan, keberanian kugenggam dengan penuh. Aku sudah sebegitu optimis akan jadi si keras kepala meski terkurung dalam kapal bernama pernikahan. Aku masih memiliki bakat berkata sinis dan hobi membantah untuk mempertahankan diriku sendiri agar tak teraniaya. Kupikir, aku bisa berdamai dengan pernikahan meski tak berharap akan menikmatinya. Tapi itu tersisa jadi cerita kemarin, karena kini Aulian sukses melemparku kembali pada titik bernama ambang ragu.
Ambil, artinya Aulian akan tetap dengan rencana awal untuk menikahiku. Rumah baru akan jadi milikku, aku bisa tenang menjual gubug reyot itu lantas bisa mengusahakan kesehatan Ayah. Tapi konsekuensinya terdengar begitu mengerikan, terbayang begitu menyeramkan. Ucapan dan perintah Aulian adalah mutlak hukumnya. Dengan kata lain dia bisa menguasai seluruh jengkal hidupku. Dia pasti akan mengatur ini dan itu, dan meniadakan apapun dalam diriku yang tidak dia suka. Dalam artian lain, aku tak boleh membantah. Aku harus jadi sangat penurut, bak babu pada tuannya. Lalu, harus dengan apa aku bertahan?
Namun jika batal yang kupilih, mengapa aku hanya melihat banyak kemungkinan sulit dan beberapa iming-iming hidup bebas tanpa tali kekang di sana-sini? Lebih detilnya, kalau aku menyia-nyiaran harta Aulian artinya aku harus putar otak, banting tulang, mencari mesin uang yang lain. Mendapatkan pinjaman uang dengan nominal besar untuk aku yang berprofesi model dengan prospek fluktuatif itu, pasti sulit. Menjual rumah tak akan semudah menjual kerupuk. Aku butuh waktu, sementara obat dan perawatan Ayah tak bisa menunggu kesiapan danaku.
Sekarang saja, aku pasti sudah memiliki utang berjuta-juta rupiah pada Aulian untuk biaya rumah sakit Ayah ini. Lalu, jika aku memilih batal untuk mempertahankan harga diriku, bagaimana kalau Aulian berubah jadi raja tega dan menarik semua kebaikan hatinya? Bukan lagi tertimpa tangga, tapi aku mungkin sudah terjatuhi runtuhan langit saat itu.
"Mikirin apa?"
Aku terperanjat saat seseorang datang menggeser tubuhku tanpa permisi. Sementara mataku melotot tajam padanya, dia lebih bahagia dengan tawa terbahak-bahak.
"Mukamu susah banget, Sal. Asli kamu beneran kelilit utang ya?"
"Ya, ejek aja sepuasmu," dengusku, yang ditanggapi masih dengan tawa oleh Talia. "Tunggu di sini sebentar, aku ambil sertifikatnya dulu."
Talia mengangguk, aku permisi masuk ke kamar Ayah untuk mengambil salinan selembar hartaku yang tersisa. Episode menghaturkan iba dan turut sedih sudah gadis itu sampaikan kemarin malam, tepat tatkala aku meneleponnya untuk meminta bantuan menjual tanah berikut rumahku. Dan aku cukup bersyukur pada sikapnya yang tak kembali memasang wajah mengasihani nasibku yang berkali-kali sial ini. Dia dengan sisi riangnya, mungkin akan menarik hatiku untuk mengikuti suasana hati yang ia miliki. Dia dengan hobi mengejeknya, mungkin akan sangat ajaib menyingkirkan lembaran-lembaran muram yang memeluk jiwaku.
Di dalam kamar, Ayah sedang terlelap setelah pagi tadi dia mengalami sedikit serangan. Aku tak tahu pasti sebutannya, yang kumengerti Ayah seperti berhenti bernapas dalam beberapa detik. Membuat aku kembali disergap dingin, sedang Aulian yang sigap memanggil perawat dan dokter jaga. Beberapa tindakan petugas berikan di antara panik yang mengerubung, beberapa menit berikutnya napas Ayah kembali ada, meski sangat tersengal. Sekarang, tujuh jam berlalu dan aku harus menarik napas lega, untuk Ayah yang mampu tertidur sedikit lebih nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI
General FictionSalwa tersesat. Ayah mengirimkan seseorang untuk membawanya Kembali.