Akutuh, sebenarnya setengah malu sama bab ini. Cuma, ya memang begini lah alur yang kupikirkan sebelumnya ditambah dengan komporan dari mbak RatnaElissa.
Jadi, baca bab ini pas bukan dalam keadaan puasa ya. Takutnya, pahala kalian jadi berkurang karena bayangin yang bukan-bukan. Miaaan.
- - - - -
Agaknya aku terlalu lelah hingga berujung tidur dengan sangat pulas. Gemerisik ringan saat Aulian menggeser tubuh yang biasanya sanggup membuatku terjaga, mendadak tak mempan untuk lelapku kali ini. Aku tak mendengar Aulian sibuk di kamar mandi. Tak mendengar langkah ke sana ke mari di lantai kamar. Lena tidurku, baru terusik saat sinar matahari menerobos masuk dari tirai-tirai yang masih tertutup rapat. Aku sontak meloncat dari ranjang saat kudapati jam dinding menunjuk pukul setengah tujuh.
"Aw, Salwa bodoh."
Dan loloslah eranganku, saat dua kaki yang kemarin baru saja mencium paving dengan keras mendadak kusiksa tanpa peringatan. Aku menggigit bibir untuk mengimbangi rasa sakit di bawah sana. Itu bukan luka besar, jangan manja. Lirihku lebih untuk diri sendiri.
Kubersihkan wajahku dari bekas-bekas tidur yang barangkali menjijikkan. Aku turun ke lantai bawah setelah merapihkan ranjang yang menjadi saksi perlakuan manis Aulian semalam. Sial. Membayangkannya saja membuat sebuah senyum merekah di atas bibirku.
"Tumben bangun telat, Sal?"
Ayah yang menyapa. Pria tua itu sepertinya baru selesai berjemur di halaman belakang. Melihat kondisi tubuh Ayah, sejujurnya menimbulkan denyut-denyut sakit dalam benak. Hanya saja aku tak ingin berpikir buruk. Tak ingin menampakkan wajah mengasihani. Ayah hanya mengenal pribadiku yang jutek. Dan menurutku, pria tua itu akan lebih menyukai aku sesinis biasanya daripada menatap sedih pada tubuh Ayah yang makin kurus.
"Kecapekan. Mas Lian mana, Yah?"
"Pamitnya mau lari-lari sebentar," jawab Ayah, aku mengangguk dan hampir berlalu menuju dapur. "Semalam pulang jam berapa? Aulian mondar-mandir nungguin kamu. Kamu itu sudah punya suami sekarang, Sal. Kalau pulang telat, harusnya ngabarin Aulian lah. Jangan suka bikin suami khawatir."
"Memang kalau istri belum pulang sampai jam delapan, suami pasti khawatir ya, Yah?"
"Ya iya. Aulian itu pasti—"
"Tapi seingatku Ibu selalu pulang hampir jam sepuluh, Ayah nggak ada tuh kelihatan mondar-mandir khawatir sama Ibu. Jadi sebenarnya Ayah ini seorang suami bukan?"
Ayah terperanjat, "Sal. Kondisi Ayah sama Ibu itu beda dengan kondisimu dan Lian, jadi jangan dikaitkan-kaitkan. Lagipula Ayah ngomong begini demi kebaikanmu. Ayah mau rumah tangga kalian itu—"
"Nggak usah ceramah, kalau Ayah sendiri bahkan nggak..."
Satu tangan besar menyumpal mulutku. Menahan kata-kata serupa pisau yang selalu saja kuproduksi tanpa sadar. Aulian membola tajam kepadaku. Aku mengerjabkan mata, sementara jantungku di bawah sana meronta-ronta. Takut berakhir pingsan hanya karena dikungkung oleh tubuh berkeringat Aulian, aku berusaha menyentak tangan besar yang memelukku semalaman tadi.
Jantungku benar-benar kampungan sekarang.
"Minta maaf sama Ayahmu." Perintahnya dengan mata melotot.
Keras aku menggeleng. "Aku nggak bicara asal. Aku ngomong apa adanya."
"Tetap aja itu nggak patut. Buruan. Minta maaf sama Ayah."
"Nggak akan."
"Minta maaf, atau... kamu tidur sendiri nanti malam."
Kenapa ancamannya terdengar aneh di telingaku? Seolah-olah Aulian menyamakanku dengan balita yang selalu ketakutan saat diminta tidur di ranjangnya sendiri. Aku tertawa nyaring. Membalik punggung menuju dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI
General FictionSalwa tersesat. Ayah mengirimkan seseorang untuk membawanya Kembali.