06 -- Arah yang Berubah

14.4K 2.4K 320
                                    

Makasih untuk semangat komennya di part 5 nya ya. Selalu seperti itu. Aku tunggu dan hargai sekali komen2 kalian. 😘😘😘

- - - - -

Memutuskan menerima Aldi sebagai teman tampaknya tak begitu buruk. Aku tak benar-benar berteman dengan dengingan nyamuk dan angin malam sebab ada canda dan gurau pria itu. Walau masih cukup kaku tanggapan yang kuberikan, tapi Aldi memahami begitu baik dengan terus membuka bahan percakapan. Tak terasa, aku menghabiskan dua kaleng kopi. Tak terasa, waktu sudah menunjuk pukul dua belas malam.

Selama itu kami berbincang. Terkadang dia menyinggung masa SMP ku, berkali-kali dia bertanya masa-masa aku tak berada dalam jangkauan matanya. Aku tak bercerita secara dalam. Hanya kulit-kulit kehidupanku, yang kurasa masih aman untuk kubagi pada orang baru. Aldi hanya orang luar. Aku mungkin mengizinkan ia menghancurkan satu dinding pertahananku, tapi tidak dengan dinding-dinding berikutnya.

Aldi masih sebangsa dengan Ayahku. Dia suka kemeja hitam juga perokok yang lumayan aktif. Beda di antara mereka yang bisa kutarik di keakraban pertama ini mungkin pada betapa Aldi pandai membangun obrolan sedang Ayahku payah dalam hal satu itu. Lagi, Aldi sepertinya pandai menghasilkan uang, tak seperti Ayahku yang miskin sampai tua. Tapi itu tidak cukup mengubah nilai yang melekat padanya. Laki-laki jenis manapun, aku belum bisa berdamai dengan mereka.

Enam puluh menit kubuang bersama Aldi. Sepanjang itu, aku berusaha mengabaikan getar yang merambat dari tas ransel menuju paha. Aku tak ingin mencari tahu orang di balik ramainya gawaiku. Cukup kuabaikan dengan batin menyeringai. Di dalam otakku sana, bisa kubayangkan betapa muka Ayahku jatuh menyentuh lantai saking malunya pada keluarga Aulian.

Biar. Biar mereka kapok.

"Udah malem banget. Aku pulang, deh," cetusku setelah yakin tak ada tamu dengan pemahaman sopan santun tinggi yang bertamu hingga selarut ini.

"Aku antar ya, Sal?"

Aku menggeleng, "Nggak usah. Aku bawa motor."

"Aku juga naik motor, aku bisa sorot kamu dari belakang. Ini udah malam banget, rawan cewek cantik pake rok mini kayak kamu naik motor sendirian."

Itu ejekan bernada rayuan. Aku mendengus dan Aldi alih-alih mengembangkan tawa. Tak ada persetujuan yang kugelontorkan. Aku hanya berlalu mengambil motorku yang terparkir, dan Aldi mengekori lajuku dengan motornya yang besar. Keras kepala diadu dengan keras kepalanya, mana kiranya yang akan keluar jadi pemenang?

Entahlah.

Kalau dipikir-pikir, ini cukup menguntungkan untuk pihakku. Setidaknya, Aldi dan sorot motornya yang begitu terang berhasil meyakinkan alam sadarku bahwa tak ada gelap yang mencekam. Aku tidak sendirian. Ada satu orang di belakang sana, yang selalu mengawasi keberadaanku. Kalau ada sesuatu yang dengan tiba-tiba menerkamku dari sudut-sudut tergelap, mungkin aku tak akan langsung mati dalam serangan pertama. Mungkin ada Aldi yang akan lebih dulu berusaha mempertahankan nyawaku.

Rupanya, aku berpikir dengan rentang terlalu lebar sepanjang perjalanan. Tahu-tahu saja aku sudah sampai di depan rumah. Mesin motorku sudah kumatikan, mataku disambut dengan satu SUV putih, yang tadi pagi berhasil melengkungkan mendung di atas hariku yang kupikir akan cerah benderang. Nalarku mendecih, tak kusangka Aulian dan keluarganya tak paham akan adat istiadat bertamu.

"Ini rumahmu?"

Sedikit gelagapan, aku bangun dari rasa kesal. Aku menolehkan kepala pada Aldi, setelah sedari tadi memandangi pintu rumahku yang terbuka lebar. Berbagai pertanyaan menghimpit dari banyak arah. Seperti kira-kira, siapa saja yang duduk dengan tatapan saling menyalahkan di dalam sana? Sebaiknya, aku tetap masuk atau malah pergi untuk menghindar selama sejam atau dua jam lagi?

KEMBALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang