Seminggu berlalu, rupanya yaaa. Lumayan lama. Buktinya aku dah kangen aja baca komenan kalian. *modusmodeon* 😆😆😆
Jadi, hargailah kangenku ini dengan komen-komenan yang seru yaaa? Votenya juga jangan lupa, key?
*sindhysekarangcerewet*
- - - - -
Semalaman, aku hanya meletakkan tubuhku di atas sofa. Berharap bisa terlelap untuk menjernihkan otakku yang semrawut. Posisiku berbaring miring, berbantalkan telapak tangan lantas meratapi napas Ayah yang terhela dengan berat. Beberapa kali, mataku sempat terpejam. Nyaris saja sampai pada pintu gerbang taman mimpi, sebelum suara batuk nan menyakitkan milik Ayah menarikku bangun dengan paksa. Mengusir kantuk, membuatku terjaga dengan detak jantung menggila.
Kendati begitu, aku tak menemukan dua kakiku berlari untuk menghampiri tubuh Ayah yang terayun sebab batuk. Otakku punya keinginannya sendiri. Dua kaki itu rasanya lebih dulu melemas, serentak dengan tanganku yang bergetar. Alih-alih, aku hanya mematung di sofa seraya melihat Aulian yang datang melewati pintu untuk sedikit menenangkan batuk milik Ayah. Pria itu mengusap punggung si tua renta. Saat setelah reda, Aulian mengulurkan segelas air yang ia tuang dari sebuah termos. Lalu dengan begitu halus, menuntun si tua renta untuk kembali terlelap.
Mataku hanya menelisik dari jauh. Dan warna merah yang mengotori telapak tangan Ayah, lebih mirip seperti sembilu tak kasat mata yang mengoyak jantungku. Aku tak mungkin menangis hanya karena pemandangan ini, tapi sungguh, mataku bak bara yang sedang menganga. Ada embun yang kupenjara kuat-kuat agar tak berubah jadi hujan untuk dua pipiku.
Belakangan, Ayah memang memiliki hobi mengganggu tidurku. Dia batuk tak tahu waktu, tak mau mengerti bahwa aku sangat butuh istirahat. Tapi belakangan pula Ayah memang lebih senang mengurung diri di dalam kamarnya. Seolah, dia memang berusaha menyembunyikan lelehan-lelehan darah yang keluar dari tenggorokannya. Seolah dia juga ingin membodohiku seperti yang pernah ibu lakukan dulu.
Semua orang pasti mati. Aku tidak menyangkal kodrat yang berdampingan dengan kelahiran yang dibawa oleh setiap makhluk yang bernyawa. Tak harus sakit, semua orang pun akan tiba pada titik habisnya dengan berbagai cara dan jalan. Tapi apa Ibu tidak tahu, ditinggalkan secara mendadak itu berkali-kali lebih menyakitkan? Aku tanpa persiapan, dan kepergian ibu mengantarku pada hari penuh kabung. Lalu, apa sekarang Ayah akan mengulangi pola yang sama lagi?
Meski aku tak menyayanginya seperti aku mengasihi ibu, tetap saja itu terasa sanggup merubuhkan kekuatan yang kubangun susah payah.
"Sal."
Seruan itu cukup menyita perhatianku. Cukup mampu menarik mataku dari dedauan yang menari lantaran ditiup angin, menuju dua orang wanita yang bergerak berdampingan. Jika Zahra tersenyum tulus, maka sang ibu memasang satu garis lurus yang tak kumengerti artiannya. Aku yang sedang terduduk lemah berusaha kembali berdiri. Meskipun rasanya hatiku tak mampu, aku tetap memaksakan senyum.
Aku tak suka terlihat hancur. Tak suka dipandang dengan tatapan kasihan.
"Kamu sendirian di sini?"
"Ya," tandasku begitu singkat.
"Aku temenin sampe sore ya nanti. Mas Lian, mungkin malam baru bisa balik ke sini lagi."
"Nggak apa-apa. Aku nggak pengen ngerepotin kamu."
"Nggak. Nggak ngerepotin sama sekali lah," gadis berkerudung abu-abu itu mengibaskan tangan. "Ayahmu gimana? Sudah membaik?"
"Entahlah, aku nggak benar-benar tahu."
"Yang tegar ya, Sal. Ini ujian, Allah cuma pingin kamu naik kelas."
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI
Fiksi UmumSalwa tersesat. Ayah mengirimkan seseorang untuk membawanya Kembali.