Part 3

9K 405 13
                                    

Mei 2017

Kalau kalian kira usaha library café itu nggak seru, salah banget. Selalu ada orang yang datang ke Chapter One untuk kerja atau sekedar baca. Aku sendiri ngisi waktu dengan baca. Bebas banget di sini. Apalagi, yang namanya Ken Matteo itu belum pernah pulang ke Bandung.

Aku ulangi ya: BELUM PERNAH. Sampai dua tahun ini.

Tapi dia selalu memantau. Dia kirim email setiap minggu. Kami juga meeting lewat whatsapp. Jangan kira kami pakai Skype atau whatsapp video. No. Pakai chat doang. Laporan dari Ryan, aku dan Arwen dikirim terpisah. Oh ya, fyi, Arwen mengurus keuangan Chapter One.

Hari ini Sabtu, sedari pagi nggak begitu banyak kerjaan. Tadi pagi cuma ada satu penulis cewek. Dia bawa laptop terus ngetik-ngetik. Kayaknya bikin novel deh. Datangnya dari pagi kira-kira jam delapan, sampai jam dua belas. Aku kenal dia: penulis novel Parade Para Monster. Namanya Eva Sri Rahayu. Sebagai penyuka novel lokal aliran fantasi, aku suka bukunya. Tadi juga, sampai kufotoin diam-diam. Malu kalau ketahuan norak. Sayang, fotonya nggak jelas sih. Udah kuperbesar aja mukanya cuma kelihatan setengah dari samping.

Nah, selagi aku asyik edit foto itu untuk kupamerin di akun instagramku (caption yang udah kupikirin adalah 'Barusan ketemu penulis cantik idolaku'), Arwen lewat di belakang sambil bilang,

"Besok pagi Pak Ken minta daftar buku-buku yang udah rusak atau jelek untuk dicariin yang barunya. Kirim by email ya, laporannya."

Hampir aja aku tersedak kopi susu bikinan Ryan. Besok pagi? Sekarang aja udah hampir jam tiga!

"Yang bener, Wen? Masa besok?" protesku. "Besok kan Minggu?"

"Iyep!" sahut Arwen santai dari area belakang.

"Tapi kan ..."

Arwen muncul lagi, menaruh teh lemonnya di mejaku, lalu duduk di kursi sebelah. "Pak Ken mau hari Senin udah ada keputusan buku mana aja yang harus dibeli," katanya.

Aku mangkel banget. Kenapa sih harus buru-buru? Toh ini hanya usaha pribadi, nggak ada laporan pertanggungjawaban ke badan mana gitu atau ke DISPUSIP!

Bukan kenapa-kenapa. Aku suka kerja di bidang perbukuan ini. Tapi besok aku udah ada janji sama adikku, Lyana. Kami mau cari buku persiapan Ujian Nasional. Habis itu kami mau nyekar ke makam Ibu. Besok adalah peringatan sepuluh tahun meninggalnya wanita yang paling kucintai itu.

Selain besok, aku mau deh disuruh lembur.

"Pak Ken mau ditawar nggak, Wen?" tanyaku serius.

Pertama-tama, reaksi Arwen adalah melotot. Habis itu dia ketawa geli banget.

"Ditawar apa maksudnya?"

Mukaku panas, Ya, salahku sih, ngomong nggak jelas. "Maksudku, jangan besok. Kapan aja asal jangan besok. Aku ada perlu banget soalnya."

Arwen menggedik bahu, lalu menyeruput tehnya. "Coba aja whatsapp dia."

Memang aku bakal tanya sama Pak Ken. Kemudian, sesuatu mengganggu pikiranku lagi. Postingan instagramku akhirnya terlupakan.

"Wen, sebetulnya boss kita ini siapa sih? Udah hampir dua tahun aku di sini, belum sekali pun tahu yang mana orangnya - kecuali foto dari zaman SMU-nya itu."

Arwen tersenyum. "Kan udah aku ceritain waktu itu."

Memang dia sudah cerita. Pada hari pertamaku di sini, aku dikasihtahu bahwa Ken sudah dewasa, bukan lagi anak SMU. Tapi dia nggak tinggal di Indonesia. Lepas SMU dia kuliah di Inggris dan cuma pulang saat Natal. Lalu sejak orangtuanya meninggal lima tahun lalu, dia nggak pernah pulang. Dia kerja di Inggris sana, di bagian IT kalau aku nggak salah ingat.

Tapi bukan itu maksudku. Bukan cerita tentang latar belakangnya.

Dia itu siapa? Ada nggak yang kenal dia secara pribadi? Ada nggak teman-teman dari masa sekolahnya di Bandung ini? Ada nggak keluarga dari pihak mamanya (yang asli orang Bandung)?

Kenapa nggak ada familinya yang pernah datang ke sini? Kenapa di rumah ini nggak ada satupun foto almarhum ayah ibunya, dan hanya ada satu foto anak SMU berwajah dingin aja?

Aku benar-benar penasaran.

***

Saya juga penasaran, Lissa. Siapa sih bossmu itu?

Kok ya tahan banget main sembunyi-sembunyian sama karyawan sendiri.

Praise God - saya bisa apdet hari ke tiga. Sungguh perjuangan menulis di hari Minggu, hahaha.

Keterangan foto: The Library Restaurant, London. Pengin banget nulis di sana.

Bilang Aja Napa [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang