Pergi sendirian ke tempat yang kurang kita kenal itu benar-benar malapetaka. Mungkin sebagian orang bisa pakai google map atau aplikasi lainnya, tapi aku nggak bisa.
Aku nggak konsen kalau ada suara-suara yang bilang "In four hundred metres, turn right." Masalahnya aku ini kacau dalam hal skala. Aku nggak bisa mengira seberapa jauh empat ratus meter itu. Bisa-bisa aku sibuk mengukur jalan terus nggak perhatikan sekitar. Cilaka dua belas. Nggak deh, mendingan cari tempat buat menepi, lalu pelajari peta lagi.
Itu sebabnya aku mengajak Astina, temanku yang dulu tinggal di Cimahi. Sekarang dia sudah pindah ke daerah Dago, ikut suami. Senang banget dia karena kuajak. Sekalian nostalgia, katanya.
Jadi setelah perjalanan selama satu jam lebih, akhirnya kami sampai di alamat yang diberikan Ken.
"Ini sebenarnya perumahan lama, Lis. Tapi pengembangnya masih ada, makanya terawat." Asti menunjuk ke luar.
Pohon-pohon cemara dan pinus mendominasi perumahan ini. Rumah-rumah di bagian depan adalah kavling yang paling besar. Biarpun dongkol karena kehilangan waktu istirahatku di hari Minggu, nggak bisa kupungkiri bahwa lokasi ini menyenangkan. Di latar belakang terlihat bukit-bukit hijau Gunung Burangrang. Asri banget. Udaranya juga lebih sejuk daripada di Bandung.
"Kavling berapa?" tanya Asti.
"Tiga satu." Aku tetap melihat ke depan. Nggak perlu lihat catatan. Sudah bolak-balik aku baca alamatnya. Kuarahkan Honda City hitam kami ke daerah kavling nomor sedang.
Mobil yang kupakai ini adalah mobil Ken. Dia meminjamkannya untuk urusan ini. Makanya dia tanya apa aku punya SIM atau enggak. Aku nggak mau bilang punya mobil. Rugi bensinlah.
Setelah menyusuri jalan lingkungan yang naik turun mengikuti kontur alam, kavling 31 akhirnya kelihatan. Aku memajukan mobil agak jauh - sesuai instruksi Ken - lalu turun. Astina mengiringiku sambil terus-menerus menyatakan kekagumannya pada perumahan ini.
"Asyik banget tinggal di sini, Lis! Adem. Jauh dari keramaian. Tenang banget. Bandung dibom juga nggak ketahuan nih." Dia mengoceh sambil memakai kacamata hitamnya. Memang matahari cukup terik, tapi embusan udaranyanya sejuk. "Bos lu mau beli rumah ini? Kenapa rumah bekas? Kenapa nggak beli kavling aja terus bangun sendiri?"
"Nggak tau, Non!"
Dia ketawa. "Habis bos elu aneh beud."
Kami berdiri di depan Kavling C-31. Rumah tipe 72, sudah direnovasi. Tapi sayangnya kurang perawatan. Bangunannya model lama. Ada kebun bunga kecil di halaman depan, tapi juga tidak terawat. Sayang banget.
Astina menekan bel di pagar. Kacamata hitamnya yang besar membuat dia seperti nyonya besar juga. Tiba-tiba aku punya ide.
"Asti, elu aja yang belagak mau beli rumah, ya. Gaya lu lebih cocok."
"Siap! Tanya harga sama contact person, kan?"
"Ya, bolehlah lu tambah-tambahin."
"Terus lu jadi apa?"
"Gue mau ngamatin orangnya."
Aku menunjuk dengan dagu ke arah teras. Seorang perempuan berkulit putih yang kira-kira seusia ayahku keluar dengan muka heran.
"Cari siapa, ya?" Dia bertanya dari teras, sama sekali nggak mendekati pagar.
"Maaf, Bu. Rumah ini dijual nggak, ya?"
"Oh!" Perempuan itu segera membukakan pagar dengan kunci yang sedari tadi ternyata sudah dipegangnya. Lalu dia mengajak kami masuk ke dalam rumah. Asti menolak.
"Di luar sini aja, Bu. Saya sekalian lihat-lihat pemandangannya."
Asti menjelaskan maksud kedatangan kami. Perempuan itu menyimak Asti dengan serius, jadi dia tidak terlalu memperhatikanku. Dengan leluasa, aku mengamatinya.
*
Hoooo ...
Siapakah perempuan ini?
[continue to the next part, please]
KAMU SEDANG MEMBACA
Bilang Aja Napa [Completed]
RomantizmPernah ngerasain 'sebel tapi kangen'? Ini cerita tentang Carlissa, pustakawan penggalau karena ada dua cowok yang suka sama dia. Tapi yang dia suka cuma satu. Nunggu-nunggu ditembak sama gebetan, cowok satu lagi udah nembak duluan. Lebih sayang, la...