Part 9

2.6K 291 8
                                    

"Ceritakan tentang dirimu."

Ken menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Kepalanya miring sedikit, menandakan dia tertarik ingin tahu tentang aku. Sepasang mata kecilnya membuat hidung itu makin kelihatan mancung.

Aku duduk di hadapannya, gugup setengah mati. Kedua tanganku saling meremas.

"Tentang saya?" tanyaku memastikan. Dia menjawab dengan menaikkan alis. Gaya cool gitu. Aku tambah grogi.

"Saya lulusan Universitas Padjajaran, dari Fakultas Ilmu Komunikasi. Prodi Ilmu Perpustakaan. Saya lulus tahun 2016 dan langsung melamar ke sini. Saya ..."

"Kamu langsung melamar ke sini. Tahu dari mana di sini ada lowongan?"

"Saya mencoba semua library café, Pak. Cari alamatnya di internet dan lamar."

Dia mengangguk-angguk. "Kenapa suka library café? Kenapa tidak ke Dinas saja atau ke sekolah internasional? Mereka punya perpustakaan yang canggih. Ilmu kamu berguna di sana."

Kubetulkan posisi duduk karena sejak tadi aku tegang banget. Perutku sampai keras karena menahan napas. Nggak tahu kenapa, orang ini bikin aku grogi setengah mati. Lagipula, untuk apa wawancara ini? Aku kan bukan sedang melamar lagi? Apa ini jebakan betmen? Aku nggak suka nih, omong basa-basi kayak begini. Aku orangnya blak-blakan.

"Saya kurang cocok kerja kantoran, Pak. Saya lebih suka suasana non formal."

"Ah, begitu." Tiba-tiba dia juga memajukan tubuhnya, dua tangannya sekarang terlipat di atas meja. Wajahnya jadi makin jelas. Bisa kulihat pupilnya bewarna coklat. Dan ada wangi lembut air laut dan bunga melati dari kemejanya. Segar seperti wajahnya.

"Ya, Pak?" Aku mengernyit, heran dengan responnya. Kayak menemukan sesuatu yang penting gitu dari kalimatku barusan. Ngomong-ngomong, memangnya aku tadi bilang apa?

"Justru saya ingin memindahkanmu ke tempat baru. Kamu belajar di sana selama tiga bulan. Kamu datang lagi ke sini dan berikan ide baru tentang mengelola perpustakaan."

Pindahkan ke mana? Aku kaget setengah mati. Apa ini maksudnya aku diberhentikan? Tapi, tadi katanya aku datang lagi ke sini. Apa mau orang ini? Apa dia benar-benar nggak suka padaku? Salahku apa?

"Saya kurang jelas, Sir."

Dia bersandar lagi. "Seorang teman saya adalah librarian teacher di sekolah internasional. Rekannya sedang cuti melahirkan, dia butuh asisten sementara selama tiga bulan. Gajinya dua kali lipat yang kamu dapat di sini. Ada transport and meal allowance. Tapi tidak ada health insurance karena kamu hanya substitute teacher. Kamu mau tidak, saya kirim ke sana?"

Sepertinya menarik. "Sekolahnya di mana, Pak?" tanyaku antusias.

"Manado."

Minatku kandas. Tidak menarik sama sekali! Manado? Ke Jawa Tengah saja aku belum pernah!

"Maaf Pak, saya tidak bersedia. Saya belum pernah ke mana-mana. Orangtua saya tidak akan mengizinkan. Apa Bapak akan memecat saya kalau saya menolak?"

"Tidak."

Aku mengernyit, benar-benar heran dengan laki-laki ini. Apa sebagian otaknya masih ketinggalan di London? Bingung aku tuh!

"Kalau begitu, saya lebih suka bekerja di sini, Pak. Kalau Bapak masih bersedia mempekerjakan saya."

"Oke. Kamu lulus tahap satu." Dia tersenyum miring. "Saya kira kamu bisa disogok dengan gaji yang lebih besar.Saya mau memberitahu bahwa tahun ini tidak ada kenaikan gaji. Apa ada keberatan dari kamu?" Matanya menatapku dengan raut muka tanpa dosa dan cela.

Rasanya kepingin ..., kepingin sekali merusak sesuatu. Dia licik. Caranya memberitahu gaji yang nggak naik ini benar-benar nggak professional. Memainkan perasaan. Dadaku bergemuruh, tapi aku bisa apa? Dia owner-ku. Pilihannya antara cari kerja baru atau tetap di sini. Cari kerja baru itu nggak mudah, apalagi untuk posisi librarian.

"Ng ... nggak ada Pak. Saya maklum." Kuucapkan kalimat itu dengan takzim.

"Terima kasih. Cukup untuk hari ini. Saya akan beritahu Arwen bahwa kamu bersedia, tanpa keberatan, untuk tidak naik gaji."

BOS SIALAN! Jebakan betmen!

"Setahun ini saja, kan Pak?" Suaraku tetap manis dan lembut.

"Yeah, maksimal setahun saja. Dan tolong," telunjuknya terangkat, "panggil saya Ken. Saya bukan bapak-bapak."

Dongok! 'Pak' bukan berarti 'bapak-bapak', lu bule sombong!

"Baik, P ... eh, Ken." Aku mengangguk, lalu berdiri. "Saya permisi. "

Setelah menjabat tangannya sambil tersenyum, aku keluar dari ruang itu dengan kepala terangkat tinggi. Kututup pintunya pelan. lalu menuju kamar kecil. Aku nggak kepingin pipis, cuma ingin sendirian dulu sebentar.

Lyana akan masuk SMU. Ayah sedang sakit - entah apa, tapi jelas gajinya akan dipakai untuk pengobatannya.

Gajiku yang hanya beberapa ratus ribu saja di atas UMR ini --- cukupkah? Apa rencana Ken sebenarnya?


Ini aku, sebelum masuk ke ruangan Ken yang Agung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini aku, sebelum masuk ke ruangan Ken yang Agung. Ryan memotretku karena katanya, hari ini aku kelihatan manis dan innocent. Sekeluarnya dari ruang itu udah pasti tampangku nggak seceria ini lagi.

***

Lissa, sayang. kasihan deh kamu. Semoga Ken nggak nyusahin kamu lagi selama dia di Bandung, ya. Semoga dia buru-buru ke London lagi.

Eh, sampai kapan Ken di Indonesia? Ngapain dia pulang? Kenapa nggak ada kenaikan gaji? Apa bisnis perpustakaannya merugi? Apa Ken berniat menutup usahanya di Indonesia ini?

Bagian berikutnya, kita akan sorot Ken lebih jauh, ya.

Luv luv, evenatka


Bilang Aja Napa [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang