"Kenapa diam?" tanyanya. "Kamu tidak suka ya?"
Sekarang kami sudah berhadapan lagi. Tapi aku menunduk terus, sementara tanganku masih membelai liontin itu. Kubiarkan rambutku yang sekarang tergerai menutupi kedua pipi. Aku nggak mau dia melihat dua butir air mata yang sudah menunggu untuk jatuh.
"Lissa, please jangan diam saja. Saya jadi merasa bersalah."
Kepalanya turun, matanya berusaha melihat wajahku. Tapi aku juga makin menunduk. Kucoba mengingat sesuatu yang menyenangkan supaya nggak jadi menangis. Tapi apa?
Aku harus bilang apa, Ken? Terima kasih kalungnya?
Jangan pergi?
Aku boleh ikut kamu atau enggak?Soalnya sekarang aku benar-benar menyesal sudah datang ke sini. Aku benci perpisahan, apapun bentuknya. Aku benci membayangkan besok dia terbang ke London dan nggak akan datang lagi. Aku benci membayangkan bangun pagi dan pergi ke sini, tapi nggak bisa lagi ketemu dia.
Lagian, apa sih maksudnya dengan semua ini? Kalung ini? Aku di dalam kepalanya?
Kalau dia suka padaku, kenapa nggak bilang terus terang. Digantung begini rasanya nggak enak. Aku nggak mau dong bilang suka duluan. Dia laki-laki, harus dia dulu yang bilang. Dia yang melamar, bukan aku. Begitulah Ayah mengajariku.
Capek menunggu reaksiku, Ken berdiri.
"Saya akan antar kamu pulang, ya. Sudah sore, nanti kamu terlalu malam." Dia menuju meja di seberang kami, tempatnya menaruh kunci mobil.
Buru-buru kuhapus air mata selagi dia membelakangi.
"Memangnya kamu tahu jalan pulang ke sini nanti?"
Dia menoleh cepat dan senyumnya tersungging lebar, menunjukkan deretan giginya yang rapi.
"Akhirnya kamu bicara juga."
"Uh, kamu cuma memancing, ya?" Aku merengut.
Dia ketawa. "No, I'm serious. Sudah mau gelap. Saya antar, ya?"
Sekarang aku jadi bimbang. Pulang atau jangan? Pengin berlama-lama juga sebelum dia pergi, tapi seperti katanya, ini sudah di ujung sore.
"Aku pakai gojek saja, Ken. Jangan repot."
Kuambil tas ransel yang teronggok di lantai lalu kucangklong.
Ken memperhatikanku sementara aku bersiap.
"Kenapa tidak mau diantar, Lissa? Kamu marah?"
Suara Ken benar-benar ketakutan. Dia khawatir kalau aku betulan marah. Padahal aku lagi menunggu.
"Nggak marah, Ken," jawabku pelan dan santai. "Tapi aku nggak suka perpisahan. Nanti turun dari mobilmu aku bisa nangis---"
"Kamu akan menangisiku?" potongnya kaget.
Ups.
Aku keceplosan. Sekarang Ken bisa menebak perasaanku. Ya Tuhan.
Sambil terus menatapku, Ken mendekat. Langkahnya lambat, dan entah kenapa aku makin berdebar. Jarak kami sekarang sudah dekat sekali.
Mata kami nggak lepas satu dari yang lain. Sama-sama saling mengunci. Dan selain rasa cinta yang dalam, aku bisa melihat sedikit kesedihan di matanya.
Ken berhenti dan menunduk menatapku. Aku, yang hanya sepundaknya, harus mendongak untuk membalas tatapannya.
"Apa kamu sedih karena saya pergi, Lissa?"
Suaranya pelan dan lembut, tapi mampu membuat duniaku jungkir balik. Tuhan, aku kenapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bilang Aja Napa [Completed]
RomancePernah ngerasain 'sebel tapi kangen'? Ini cerita tentang Carlissa, pustakawan penggalau karena ada dua cowok yang suka sama dia. Tapi yang dia suka cuma satu. Nunggu-nunggu ditembak sama gebetan, cowok satu lagi udah nembak duluan. Lebih sayang, la...