Surat itu baru kubaca malam hari, ketika Ryan berhasil kusuruh pindah ke kamarnya. Untung aja dia nggak curiga. Punggungnya juga pegal, seperti alasan yang kupakai, jadi dia juga ingin cepat tidur.
Begitu mengunci kamar, aku segera melempar diri ke kasur dan mengeluarkan surat yang terlipat dua dalam sakuku. Kuratakan dengan tangan, dan nggak bisa kukendalikan detak jantungku yang berdebar kencang. Rasanya seperti dapat surat dari Ken saja. Padahal ini untuk almarhum ayah Ryan.
Aku mengenyahkan rasa nggak enak hati karena membaca surat orang. Rasa ingin tahuku jauh lebih besar. Siapa tahu di sini ada jawaban tentang apa saja. Ken terlalu misterius buatku. Ingin rasanya ada petunjuk tentang sikap-sikapnya.
Lipatannya sudah keras karena waktu. Aku sampai takut suratnya sobek.
Akhirnya, lembaran itu terbuka. Mataku menyipit, berusaha membaca tanggal penulisan. Maret 2015. Tiga setengah tahun yang lalu. Jadi ayah Ryan masih hidup saat itu. Aku jadi pengin tahu kapan Mr. Duroff meninggal. Ryan belum pernah cerita apa-apa.
Dengan perasaan campur aduk aku mulai membaca. Surat ini dalam bahasa Inggris, dan aku langsung menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia selagi membaca.
Paman Duroff.
Maafkan saya karena menolak ajakan Paman dan Bibi untuk tinggal di Bali. Waktu itu saya sedang ingin menyendiri dan memikirkan langkah selanjutnya. Semoga Paman dan Bibi tidak marah.
Paman, keluarga Smithson sangat baik. Mereka benar-benar menganggap saya anak. Saya paham, sebab putri mereka sendiri memilih sekolah di US. Mr. dan Mrs. Smithson kesepian. Saya berusaha melupakan peristiwa nahas itu dengan belajar giat dan menemani mereka kemanapun mereka mau. Aktif membuat saya tidak punya waktu untuk bersedih.
Dan benar sekali, Laura kembali setelah lulus. Dia datang pada musim panas tahun lalu. Di situlah kami pertama bertemu dan berkenalan. Dia cantik, Paman, tapi menurut saya agak liar. Mungkin tinggal sendiri di US membuatnya jadi bebas begitu. Saya kurang nyaman berjalan dengannya.
Waktu Laura memutuskan kuliah di US lagi, Mr. dan Mrs. Smithson marah. Mereka ingin Laura di London. Saya tidak mau mendengar pertengkaran mereka, jadi saya di kamar saja. Namun ketika libur musim panas berakhir, Laura pergi.
Ini membuat Mr. dan Mrs. Smithson sedih. Tapi, mereka menutup-nutupi perasaan di depan saya. Padahal saya tidak peduli juga.
Mau nggak mau aku senyum. Khas Ken, nggak peduli perasaan orang.
Kubalik kertasnya dan kulanjutkan membaca.
Tapi hal yang paling membuat saya susah adalah kepulangan Laura pada akhir 2014. Waktu itu libur Natal. Saya baru pulang kerja ketika Mr. dan Mrs. Smithson meminta saya duduk. Firasat saya tidak enak. Apalagi, Laura duduk di lantai, tidak berani memandang saya.
Singkat saja ya, Paman: Laura hamil. Dan dia tidak mau menggugurkan. Dan jangan tanya siapa ayah bayinya. Sudah pasti tidak mau bertanggung-jawab.
Lalu, Mr. dan Mrs. Smithson meminta saya menikah dengan Laura.
Paman bisa bayangkan saya menikah dengan orang yang tidak saya sukai? Saya menolak, tapi mereka meminta pengertian. Saya sudah dianggap anak selama ini. Kenapa tidak jadi anak sekalian? Dan bagaimana saya harus menolak mereka? Saya berhutang budi.
Saat itulah saya menyesal karena menolak ajakan Paman dan Bibi. Akan berbeda ceritanya kalau saya tinggal dengan kalian.
Paman, saya tidak tahu harus bagaimana. Kandungan Laura sekarang hampir empat bulan. Mr. dan Mrs. Smithson sudah mendesak saya untuk melamarnya.
Saya ingin pendapat Paman. Bagaimanapun, Pamanlah kerabat saya walaupun jauh.
Salam untuk Bibi. Katakan saya menyesal tidak menurut ajakannya.
Salam untuk Ryan. Sampaikan bahwa saya akan menyediakan pekerjaan untuknya nanti. Mungkin tahun depan saya akan ke Bandung. Saya sudah punya ide tentang mau diapakan rumah Mama itu. Juga buku-bukunya.
Cepat sembuh, Paman.
Kenny.
Kulipat kertas hati-hati, kuletakkan di kasur. Aku berbaring telentang, tanganku di bawah kepala. Aku nggak tahu gimana persisnya perasaanku sekarang.
Marah, karena Ken nggak cerita semua ini padaku?
Benci, karena Ken berani-beraninya kasih harapan palsu padaku padahal dia sudah terikat dengan Laura?
Sedih, karena kelihatannya Ken juga tidak berdaya menghadapi pilihan hidupnya?
Entah yang mana yang membuat airmataku mengalir pelan-pelan saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bilang Aja Napa [Completed]
RomancePernah ngerasain 'sebel tapi kangen'? Ini cerita tentang Carlissa, pustakawan penggalau karena ada dua cowok yang suka sama dia. Tapi yang dia suka cuma satu. Nunggu-nunggu ditembak sama gebetan, cowok satu lagi udah nembak duluan. Lebih sayang, la...