"Got it!"
Aku yang sedang melamun di atas tangga, menungguinya memeriksa buku-buku yang kuturunkan dari rak atas, langsung semangat mendengar seruan Ken. Kalau sudah selesai berarti aku sudah bisa pulang. Sudah hampir semua rak buku kami bongkar, dan akhirnya di ruang paling depanlah Ken menemukan apapun yang dicarinya itu.
Kutatap dia dengan mata terbuka lebar. Ken sedang melambaikan sebuah amplop kecil yang sudah tipis banget karena terselip begitu lama di tengah-tengah buku.
"Apa itu, Ken?"
"Another puzzle."
Puzzle? Aku cuma bisa melongo karena nggak paham.
Ken berdiri dengan tergesa sambil membawa setumpuk buku di tangan. Diangkatnya buku-buku itu padaku untuk disimpan. Aku mengambil semua lalu menumpuknya di paha, merapikannya lagi di dalam rak.
Ken langsung pergi ke kamar kerjanya. Terpaksa aku membereskan tangga lipat sendiri, karena Ryan dan Arwen sudah pulang sejak sejam yang lalu. Ngomong-ngomong, Ryan menawarkan bantuan tadi, tapi Ken menyuruhnya pulang. Aku kesal tapi nggak bisa ngomong apa-apa. Ryan cuma mengangkat alis, lalu mengajak Arwen pulang bareng.
Kuketuk pintu kamar kerja Ken, dan karena dia menyuruhku masuk, kubuka pintunya. Ken sedang mengamati sebuah surat di atas meja. Seperti biasa, posisi kertasnya pun rapi. Amplopnya diletakkan di sudut meja. Mukanya serius campur kusut, entah apa yang dibacanya di sana.
"Ken, saya sudah boleh pulang?"
Dia menatapku, dan anehnya, seperti setengah melamun. Aku yakin dia nggak benar-benar mendengarkan kata-kataku barusan. Jadi kuulangi lagi
"Saya boleh pulang?"
"Oh! Ya."
Huft.
"Tapi, maukah kamu tolong saya?"
Pintunya belum sempat kututup. Ya Allah, tolong apa lagi, Ken? Aku melongok lagi ke dalam. Dia sedang menatapku dengan pandangan sedih. Ada apa sih ini?
"Saya ingin pulang, Ken. Ini sudah malam. Bisa besok saja?"
"Nanti saya antar kamu pulang."
What!
Nggak bisa menolak deh kalau seperti ini.
"Minta tolong apa?"
Nada suaraku udah nggak ramah lagi. Badanku pegal, kausku sudah bikin gerah, mukaku berminyak. Aku pengin mandi dan cuci muka.
Dia memberi kode supaya aku mendekat. Jadi aku duduk di depannya, tangan terlipat di dada (persis gaya dia kalau lagi nggak sabar), muka kutekuk sembilan. Pokoknya dia harus tahu, aku nggak suka ditahan-tahan pulang sampai begini malam.
"Kamu jangan seperti itu, eh? Saya ini employer kamu." Dia mengernyit, keberatan dengan bahasa tubuhku. Jadi kuusahakan santai walau dalam hati mangkel banget.
"Employer yang baik itu, Pak Ken, menghargai employee-nya. Ini sudah malam dan saya harus pulang. Kamu juga tidak bayar uang lembur, kan?"
"Lembu?"
"Overtime." Saking jengkelnya aku sudah nggak bisa ketawa.
"Oh! Overtime. Oke. I will pay your overtime."
Percuma kasih alasan pada Ken. Sekali-kali, mungkin aku harus menggertaknya. I mean, memangnya pekerjaan hanya ada di sini aja? Kalau kontribusiku berharga buat dia, pasti dia menahanku, iya kan?
Dengan kekuatan seribu kuda, aku berdiri dan memakai jaketku di depannya. Bodo amatlah. Kamu mau pecat aku, Ken? Silakan. Pesangonnya mungkin sedikit tapi semoga bisa untuk biaya hidupku sampai dapat pekerjaan baru.
Kutatap matanya lekat-lekat.
"Ken. Saya. Harus. Pulang. Saya datang besok pagi dan kita kerja lagi. Saya tidak mau diantar. Saya harus menolong adik saya. Mungkin kamu tidak punya adik? Terserah. Bukan urusan saya. Tapi saya punya adik, punya ayah, dan they mean a lot to me!"
Aku kira, dia bakal cuek aja seperti biasa, berlagak bodoh atau memutar-balikkan kata-kataku seperti tadi sore. Tapi dia malah diam.
Dan tiba-tiba saja dia memundurkan kursinya dengan kaki, sementara matanya membalas tatapanku dengan satu rasa yang mengerikan untuk aku sadari.
Ada kesakitan dan kebencian di sana. dan untuk beberapa detik aku kira sedang berhadapan dengan seorang pendendam akut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bilang Aja Napa [Completed]
RomancePernah ngerasain 'sebel tapi kangen'? Ini cerita tentang Carlissa, pustakawan penggalau karena ada dua cowok yang suka sama dia. Tapi yang dia suka cuma satu. Nunggu-nunggu ditembak sama gebetan, cowok satu lagi udah nembak duluan. Lebih sayang, la...