Part 37

2.1K 251 16
                                    

Gara-gara kecupan mendadak yang kudapat, sepanjang pagi sampai siang itu aku nggak konsen. Padahal acara kami terbilang sukses.

Peserta yang ikut hampir tujuh puluh orang. Mayoritas anak-anak, karena kami membagi grup menjadi dua batas usia: kelas III sampai kelas IX dan kelas X hingga semester delapan di kampus. Kostumnya boleh bikin sendiri, boleh beli, tapi ada maksimum harga. Jadi bukan yang termahal yang pasti menang, tapi yang paling kreatif nambahin asesorisnya. Terus, harus menyertakan penyihir dari cerita mana yang dia perankan. Dan harus follow akun medsos Chapter One.

Yang terakhir itu, usulku.

Aku kan nggak tahu kalau Chapter One mau ditutup sama Ken atau diserahkan nasibnya pada kami. Sekarang setelah tahu, ada rasa bersalah juga udah minta orang follow tapi ternyata nggak aktif.

Ken menuai tawa waktu membacakan kata sambutannya. Benar-benar baca. Padahal nggak panjang-panjang banget loh. Dia nggak bisa menghafalkan satu kalimat pun. Tapi mungkin karena dia bule banget, dan cakep juga, dan bajunya luar biasa menarik perhatian, para peserta suka banget sama dia. Selesai kata sambutan dia diajak ke sana kemari untuk foto bersama. Kasihan.

Aku geli banget lihat cara dia berfoto. Berdiri kaku kayak patung. Nggak bisa gaya banget. Padahal para peserta sudah bergaya alay gitu loh. Dia kayak salah tempat aja.

"Hei."

Ken datang ke mejaku sambil tersenyum lebar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ken datang ke mejaku sambil tersenyum lebar. "Saya suka acara ini. Kamu tahu tidak, mereka membuat hashtag Chapter One! Lalu foto saya ada di mana-mana." Dia tertawa kecil sambil geleng kepala.

"Harusnya kamu senang dong, Ken. Tenar dalam sehari," sahutku sambil menyodorkan es jeruk.

"Saya tidak suka tenar."

"Kenapa? Orang malah kepingin tenar, lho!"

"Saya tidak mau." Dia menggedik bahu. "Saya kurang suka baca-baca, apalagi buku Indonesia. Saya kurang paham. Kalau saya tenar gara-gara Chapter One, I'm worried kalau dimana-mana orang hubungkan saya dengan buku." Dia menggeleng beberapa kali.

Aku nggak bisa menahan tawa. Pemikirannya sederhana banget tapi ada benarnya.

"Jadi kamu tuh maunya tenar dalam hal apa?"

Melihatnya mengernyit, kuralat kata-kataku.

"Kamu mau dikenal orang sebagai Ken yang bagaimana? Yang suka rumah kayu?"

Dia memiringkan kepala sambil menatap balon di langit-langit.

"Uhm... saya tidak ingin seperti itu. Lagipula saya harus kembali ke London dan mungkin tidak akan ke Indonesia lagi. Untuk apa saya terkenal di sini? Useless."

Dia mau ke London?

"Kapan kamu pulang ke London?"

"Tiga hari lagi. Arwen sudah membelikan tiketnya."

Bilang Aja Napa [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang