Terus terang saja, isi surat elektronik Ken itu membuat perasaanku campur aduk. Pertama-tama, tentu aja aku pengin tahu siapa bosku. Jadi aku semangat banget pengin ketemu. Dua tahun kerja belum pernah bertemu muka, wajar kan kalau aku excited? Tapi nggak bisa dipungkiri, aku agak takut juga.
Minggu sore, kami sekeluarga mengunjungi makam Ibu di daerah Pandu. Aku mengusap pusaranya. Ada foto Ibu di sana, foto ketika kanker belum memakan habis daging dan lemaknya. Ibu masih terlihat sehat, tidak kurus kering seperti ketika ia meninggal.
Udah sepuluh tahun ya Bu.
Kupandangi foto wajah ibu yang muda, tirus, namun matanya menyiratkan kekerasan hati - itulah yang kuingat. Tak bisa kubayangkan dia menua sedikit lagi. Ingin betul aku tahu, seandainya Ibu masih ada, seperti apa mukanya sekarang? Apa sudah ada kerut di sudut matanya? Apa rambutnya sudah mulai putih? Apa dia akan setuju, aku memilih karir sebagai pustakawan?
Ibu dulu selalu kesal kalau aku menghabiskan waktu dengan membaca novel. Masih bisa kuingat sedikit raut mukanya saat mengomeliku. Dulu aku kesal banget. Sekarang, berapapun aku mau bayar asal bisa mendengarnya mengomel lagi.
Lyana menaruh kuntum-kuntum bunga yang sudah disiapkannya dari rumah ke dalam mangkuk kaca berisi air. Ditaruhnya mangkuk itu di depan pusara. Kulihat kepalanya sedikit tertunduk.
"Ayo, kita pulang."
Suara Ayah membuyarkan lamunanku tentang wajah Ibu. Lyana menaruh mangkuknya di sisi pusara, sementara aku menabur bunga-bunga dari kantung plastik terakhir. Makam sederhana itu jadi penuh warna merah muda, warna kesukaan Ibu. Jemari tua Ayah mengusap ukiran nama pada pusara, lalu mengelus puncaknya.
"Kerjamu enak, Lis?" tanya Ayah dalam perjalanan pulang kami dengan Kijang tua miliknya. Sore itu panas sekali, dan pendingin udara mobil ini sudah tidak bagus. Untuk memperbaikinya, kami tidak punya uang. Mobil ini sudah terlalu tua. Satu-satunya yang tertinggal sepeninggal Ibu, di antara harta benda yang dijual Ayah demi mengobati kanker itu.
"Udah mau dua tahun, berarti betah," Lyana mendahuluiku menjawab sambil tersenyum senang. Aku memang nggak pelit sama dia. Apapun keperluannya untuk sekolah pasti kubelikan kalau uangku cukup. Bukan sekedar yang standar seperti buku dan alat tulis, tapi alat warnanya pun kubelikan yang bagusan. Alat tulis yang fancy, diary, jurnal, khas anak-anak abege perempuan kayak dia. Aku mengangguk sambil menatap mata Ayah lewat kaca spion tengah.
"Betah, Yah."
"Gajimu naik?"
Ayah selalu bertanya tanpa tedeng aling-aling. Spontan. Langsung. Padahal perihal gaji itu sangat sensitif. Aku kurang suka membahas soal gaji, tapi kutunjukkan bahwa aku bisa membantu keuangan kami.
"Belum tahu, Yah. Gaji kan naiknya nggak tiap bulan. Lis baru satu kali naik gaji. Harusnya tahun ini naik, sih." Jawabanku kedengaran nggak yakin, karena tiba-tiba aja aku ingat bahwa Pak Ken mau datang Rabu besok. Kenapa dia tiba-tiba pulang, itu bikin aku was-was. Siapa tahu aja dia mau menutup Chapter One dan fokus sama hidupnya di London sana? Berarti aku bakal kehilangan pekerjaan.
Ayah menangkap keraguanku. Dari spion, bisa kulihat wajahnya ikut was-was. Ayah selalu tahu. Mungkin karena dia selalu bersama kami selama sepuluh tahun ini.
"Ada masalah ya?' desaknya. Mendadak, Lyana juga terlihat cemas. Wajar, karena sudah sebulan ini Ayah keluar masuk rumah sakit. Ada masalah dengan liver, katanya, tapi setiap kali aku bertanya, dia menghindar.
Penghasilan Ayah sebagai staf keuangan di bank swasta kecil memang hanya cukup untuk membiayai sekolah Lyana dan membayar iuran asuransi pendidikan sampai usia adik perempuanku itu 18 tahun. Preminya lumayan besar karena Ayah ingin Lyana bisa kuliah di tempat yang bagus.
Otomatis, kebutuhan keluarga kami bergantung pada gajiku. Aku sampai nggak mikirin punya tabungan, karena memang nggak bisa menabung. Semua habis bersih tiap bulan.
"Enggak kok, Yah. Bos Lis datang Rabu besok. Lis kayaknya bakal pulang lebih lama, jaga-jaga dia kasih kerjaan. Selama ini Lis belum pernah ketemu Pak Ken."
"Kok lucu?"
"Kok bisa?"
Mereka serentak bicara. Aku hanya bisa menggedik bahu. Hatiku nggak tenang sebelum Rabu datang.
***
Akhirnya saya cukup sehat untuk update cerita ini. Mohon maaf ya teman-teman (GR aja dulu ada yang nungguin ceritanya, wkwkwk)
Oh ya kemarin nggak bisa unggah foto cast Lissa. Ini dia:
Taraaaaa...
Cast lainnya nanti lagi ya :D
Luv luv, evenatka
KAMU SEDANG MEMBACA
Bilang Aja Napa [Completed]
RomancePernah ngerasain 'sebel tapi kangen'? Ini cerita tentang Carlissa, pustakawan penggalau karena ada dua cowok yang suka sama dia. Tapi yang dia suka cuma satu. Nunggu-nunggu ditembak sama gebetan, cowok satu lagi udah nembak duluan. Lebih sayang, la...