Part 35

2.2K 243 7
                                    

Kutarik tangan dari genggamannya. Dia kaget banget Dengan bola mata membulat – padahal kecil sih pupilnya – dia menatapku takut-takut. Tangannya masih mengambang di udara, nggak berubah posisi sejak tanganku lepas.

"Aku nggak cantik dan jangan bikin muka melas begitu di depan cewek yang udah sangat ngantuk."

Mula-mula keningnya berkerut, pasti nggak paham aku ngomong apa. Aku ngomong cepat banget, lupa kalau dia masih belum fasih.

Lalu dia ketawa sampai airmatanya keluar. Buset. Apa aku selucu itu?

"Please, kamu begitu cute kalau marah. Arwen dulu suka bicara panjang-panjang in Indonesian dan saya hanya bisa bingung."

"Bengong," ralatku.

"Apa? Bengong?"

"Iya. Kamu bengong kayak begini kan?"Aku membuat rahangku turun, mata melotot, alis naik. "Ya, nggak persis sama tapi begitulah kira-kira. Kalau bingung itu begini." Sekali lagi kuperagakan gaya topeng monyet yang pernah kulihat di Ciwalk. Tangan menggaruk-garuk kepala, kening berkerut, pandanganku terarah ke langit-langit

Sekali lagi dia tergelak. "Ya, saya rasa saya bengong. Saya tidak paham maksud Arwen apa."

Kami diam beberapa lama. Di luar hanya terdengar suara daun yang gemerisik terkena angin. Apa kabar Ryan dan Arwen? Mungkin mereka sudah ketiduran. Seharusnya aku di sana, membantu mereka. Sekarang sudah pukul setengah dua kurang.

Lalu tanpa permisi, Ken meraih tanganku lagi.

"Tidurlah di sini. Saya punya dua kamar tidur. Nanti saya bangunkan kamu jam enam dan kita lari pagi."

Yang bener aja Ken!

"Lari pagi? Memangnya sempat? Lari di mana? Sepanjang Cipaganti?" cecarku geli.

"Cipaganti? Maksud kamu di jalan raya? Tentu tidak!" Dia merengut. Lari pagi di jalan raya ternyata ide menjijikkan buat dia. "Saya punya treadmill. Arwen memaksa membeli satu. Dia menyukai punya tubuh langsing.".

Ya ampun bahasanya Ken ini. Pengin ngakak tapi nggak sopan.

Spontan mataku melihat ke bawah, ke tubuhku sendiri. Aku lebih gemuk dari Arwen, lebih pendek juga. Jadinya kayak gempal. Baru kali ini aku malu sama tubuhku sendiri. Apa menurut Ken juga aku gemuk pendek? Menurut Ryan gimana ya?

Kok aku jadi peduli pendapat orang gini sih!

"Kamu sendiri? Menyukai tubuh langsing?" Bibirku sudah setengah mencibir. Pasti suka. Mana ada cowok nggak suka cewek langsing dan cantik kayak Arwen.

"Me?" dia menunjuk dadanya. "No. Saya menyukai hal-hal lain."

"Apa misalnya?" Aku bertopang dagu.

"Tidak usah." Dia menggeleng sambil mengulum senyum. "Ayo kita tidur."

Untung aku tahu dia nggak bermaksud mengajak tidur seperti yang kupikirkan.

Ken beranjak dan mendahuluiku ke pantry lagi. Di sana ada tangga kayu lantai dua. Dia berada dua anak tangga di atasku. Lalu di puncak tangga, dia berbalik dengan muka bangga.

"Kamar tidur. Kamu pasti suka di sini."

Kamar itu berlantai papan dan berjendela lebar. Tempat tidurnya tepat di sisi jendela, built-in, karena pas banget dengan lebar kamar. Spreinya linen putih seperti di kamar hotel. Ada laci-laci di bagian bawah kasur. Kalau ini kamar anak kecil, pasti diisi mainan dan buku.

Bilang Aja Napa [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang