Part 50

1.8K 203 3
                                    

"Aku ingin dengar versi kamu, Ry."

Helaan napas panjang Ryan membuat aku yakin kalau topik ini juga berat baginya. Ryan menunduk memandangi pasir di bawah kakinya, sementara aku menguatkan diri untuk terus menatap wajahnya dari samping.

"Aku pernah bilang, dia sayang banget sama kamu, Lissa. Dan itu bukan bohong."

Hening. Aku sama sekali nggak ingin memotong omongannya. Aku ingin dengar semua.

"Ken mengalami masa shocked kehilangan orangtuanya waktu SMU. Kamu udah tahu ceritanya, kan?"

Aku mengangguk.

"Jadi dia kuliah di London. Di sana, dia diasuh sama sahabat ayahnya. Dia itu ayah baptis Ken. Kebetulan mereka hanya punya satu anak perempuan yang waktu itu masih High School, tapi sekolahnya di US. Ayah dan ibu baptis itu senang karena ada anak baru yang menemani mereka."

Ryan mengatur napasnya. Aku tetap memeluk lutut, kini dengan kepala berbaring di atas lututku sendiri.

"Terus pas dengar tantenya mau menguasai peninggalan orangtuanya, Ken datang. Dia emosi banget waktu itu. Aku cuma dengar dari Mama karena waktu itu masih di Jakarta. Katanya dia ngusir tantenya dengan kasar. Tapi karena nggak paham hukum Indonesia, dia nggak berhasil bikin mereka jera. Tetap aja kan, satu rumah mereka dicaplok sama tantenya."

"Ry, tolong cerita yang masa sekarang aja. Aku malas bahas masalah yang aku udah tahu."

"Oh." Muka Ryan memerah. "Oke. Jadi singkatnya, habis marah-marah dia balik ke London, nggak ada kabar selama dua tahun. Artinya nggak ada kabar itu, dia nggak mau lagi balas pesan-pesan dariku. Tadinya kami cukup ada hubungan biarpun nggak sering. Tapi dua tahun itu dia kayak nggak peduli lagi sama kehidupannya dulu di Bandung."

Ryan mengubah posisi duduknya. Sekarang, dia menghadap ke arahku. Ditatapnya aku dalam-dalam.

"Lalu, tiga tahun berikutnya dia datang lagi dengan tujuan mengambil alih rumah Cimahi dan menjualnya. Sebetulnya dia juga mau menjual rumah Cipaganti, tapi Arwen berkeras menolak. Arwen itu sudah kayak adik buat Ken. Jadi ya sudah, dia bebaskan kita menentukan, mau terus kerja di sana atau mau keluar dan dia jual saja. Arwenlah yang masih mempertahankan." Diam sejenak. "Dan waktu ketemu kamu, dia cerita ke aku, apa yang terjadi dalam dua tahun dia menghilang itu."

"Apa?" Aku jadi tertarik.

"Putri keluarga baptis Ken pulang dari Amerika, mau kuliah di London. Dia jatuh cinta pada Ken. Orangtuanya juga mendukung lalu minta Ken untuk melamar Laura."

"Apa dia mau?"

Ryan menunduk, menggeleng, lalu menatapku lagi. "Ken itu orangnya kaku banget. Sedang Laura ... agak liar. Ken nggak tertarik. Tapi waktu itu dia merasa berhutang budi."

Aku hampir tahu gimana ending-nya. Klise. Aku cuma penghibur sementara selama dia di Bandung. Jahat banget kamu, Ken. JAHAT.

"Jadi, dia bohong tentang suka sama aku. Kamu juga bohong, Ry." Aku nggak bisa menahan airmata. "Kamu tahu Ken punya orang lain di sana. Kenapa kamu mengalah? Kenapa kamu nggak terus aja dekatin aku? Siapa tahu aku jadi milih kamu, dan nggak usah terbujuk semua sikap romantis Ken ..."

Takut-takut, Ryan membelai rambutku. Hancur. Kenapa dua orang ini ternyata begitu tega? Apa salahku?

"Lissa, dengar dulu. Ini semua baru jelas waktu dia menelponku tiga bulan lalu." Suara lembut Ryan terdengar dekat sekali. Rupanya dia menunduk untuk berbisik di telingaku. Tangannya masih membelai rambut.

Baiklah. 

Kuhapus air mata dan dengan kepala tetap di atas lutut, aku menatap kaki Ryan yang bersilang di depanku.

"Kejadian yang kuceritain barusan itu kan lima tahun yang lalu. Selama dua tahun pertama, iKen ngulur waktu untuk melamar Laura dengan alasan ingin kerja mapan dulu. Mereka setuju. Laura kuliah, Ken meniti karir, dan mereka tetap serumah dengan orangtua Laura. Begitu selama tiga tahun. Bayangin, nggak mau kasih kepastian selama lima tahun!"

Tapi bukan itu yang menggangguku. Soal tinggal serumah: apa mereka ... udah tidur bareng?

Aku nggak bisa menahan cemburu waktu membayangkan Ken tidur dengan cewek lain.

"Lalu dia ke Bandung, ketemu kamu. Jatuh cinta. Dan kamu juga suka dia, kan? Dia senang banget. Tapi ada Laura yang harus dia bereskan."

Aku mengangkat kepala, tegang. "Maksudnya dengan bereskan? Dia bukan mau bunuh Laura, kan?"

Ryan mendengus sambil tersenyum tipis. "Kamu kebanyakan nonton," katanya. "Jelas enggaklah. Dia mau batalin rencana pertunangan. Dia bilang sih, sama sekali nggak akan bisa jalani pernikahan dengan Laura. Bukan tipenya benar-benar. Kalau menurut ceritanya ke aku, dia mau melamarmu dua bulan lalu."

Aku termangu. Dua bulan lalu – atau tiga bulan setelah dia pergi – dia berencana datang. Lalu kenapa nggak jadi?

"Pasti ada sesuatu terjadi di sana, sampai dia harus membatalkan niat ke sini, Lissa," bujuk Ryan lembut, seperti bisa membaca pikiranku.

"Bukannya aku berhak tahu, Ry?"

"Kamu tahu Ken gimana, kan? Dia suka mendadak. Tapi aku yakin dia punya alasan kuat."

"Jadi kamu sama sekali nggak menentang rencana pernikahannya tahun ini, Ry? Teman macam apa kamu," tukasku sambil membuang pandang ke laut. Debur ombaknya makin besar dan bergulung-gulung ke laut lepas. Ingin rasanya menceburkan diri di sana, siapa tahu kepalaku bisa dingin lagi. 

"Aku nentang dia, Lis. Tapi kan bukan aku yang bikin keputusan. Biarpun aku marah, kalau dia tetap sama rencananya, aku bisa apa? Masa mau boikot pertunangan mereka!"

Aku mendengkus. Semua ini rasanya nggak masuk akal, sekaligus masuk akal. Ini alasannya Ken menjauh. Ini alasannya Ken nggak balas obrolanku. 

Dia mau putus.

Ya sudah. Aku juga nggak akan mengharapkan dia lagi.

 Aku juga nggak akan mengharapkan dia lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*** 

Idih, Ken. Sebel ah 😣

Ikut sedih ya, Lissa 😭😭😭

Bilang Aja Napa [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang