Part 56

2K 204 14
                                    

"Kenapa kamu nggak bisa lupain Ken, Nak?"

Ayah, yang sejak tadi mendengarkan dengan serius sambil mengisap rokok kesukaannya, menyandarkan punggung dengan santai. Kepalanya miring ke kiri, menghadapku. Sedangkan aku duduk bersila di atas sofa, menghadap Ayah.

"Justru itu pertanyaan Lissa, Yah." Aku menjawab sambil memainkan ujung kaus lagi. Sudah lecek banget gara-gara kupuntir-puntir.

"Perasaan kamu kalau lagi dengan Ken, gimana?"

Kupejam mata sambil berusaha mengingat-ingat.

"Takjub."

Dari sekian banyak kata, itulah yang kupilih untuk menggambarkan perasaanku. Ayah saja sampai bengong beberapa jenak.

"Takjub." Katanya. "Menarik. Kalau dengan Ryan?"

Aku menutup mata lagi. Kubayangkan wajah Ryan, senyumnya, keceriaannya, perhatiannnya.

"Senang, tapi merasa nggak pantas juga nerima itu semua."

Kubuka mata untuk melihat reaksi Ayah. Kepalanya manggut-manggut dengan gerakan lambat. Kelihatannya dia benar-benar berusaha membayangkan perasaanku tadi.

"Cinta itu memang misterius, Nak. Ketika dicintai seseorang, kita jadi kuat. Tapi ketika mencintai seseorang dengan dalam, kita jadi berani. Itu semua pekerjaan cinta."

Matanya menerawang lembut ke foto Ibu di dinding. Foto terakhir yang diambil sebelum rambut Ibu rontok semuanya gara-gara kemoterapi.

"Ayah berani bilang yakin mau menikahi Ibu karena Ayah benar-benar mencintainya. Sebelum dengan Ibu, Ayah punya pacar juga. Tapi kalau ditanya kapan menikah, entah kenapa rasanya nggak berani jawab. Berbeda sekali waktu ditanya oleh kakekmu."

Aku termenung, mencerna kata-kata Ayah.

"Selebihnya kamu harus tanya pada diri sendiri, Nak. Cuma kamu yang tahu gimana reaksimu terhadap mereka. Reaksi hati kamu yang paling dalam. Itu yang nggak bisa dibohongi selamanya."

Aku beringsut dan memeluk laki-laki itu.

"Makasih, Yah," ucapku sungguh-sungguh.

"Hubungi aja Ken. Seperti yang diusulin sama Ryan."

"Lalu Lissa ngomong apa?"

Kulepas pelukanku, lalu kepalaku bersandar di lengannya.

"Ya, basa-basi aja. Lama nggak berhubungan atau apalah. Kamu sendiri yang bilang kalau Ken itu kaku, kan? Apalagi dia yatim piatu. Ayah rasa, itu yang bikin dia jadi sulit terus terang soal perasaannya."

"Begitu ..." Aku baru paham.

Ayah mengambil tanganku. "Pelan-pelanlah sama Ken. Dia sendirian. Kamu masih punya Ayah dan Lyana. Bahkan Ryan, kamu juga sayang dia. Sedangkan Ken," Ayah diam sejenak, mengusap punggung tanganku dengan jempolnya, "... cuma punya kamu."

Kugenggam tangan Ayah erat.

"Nggak salah kalau Lissa pulang dulu, ya, " ucapku sambil tersenyum.

Ayah ikut tersenyum. Dia menatapku dengan pandangan yang sukar kulukiskan. Fokusnya berganti-ganti antara mata kiri dan kananku.

"Kalau nanti Lyana punya masalah yang sama, kamu bisa kasih nasihat ke dia, kan?"

Mendadak aku punya firasat nggak enak.

"Ngomong apa sih Ayah," tukasku. "Jangan bicara aneh-aneh, nanti kejadian."

"Itu salah satu keburukanmu, Lissa." Ia berdeham. "Mengelak dari kenyataan. Begitu juga terhadap Ryan dan Ken, ya kan?"

Bilang Aja Napa [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang