Sejak pagi, aku belum lihat Ken. Deg-degan banget aku dari tadi. Sekarang sudah mau jam makan siang, dia belum kelihatan batang hidungnya.
Ryan menunduk tiba-tiba di sebelahku dari arah belakang.
"Jamnya rehat. Makan siang nggak? Ke Cihampelas, mau?"
"Ryan! Kaget gue!" Kupukul pelan pundaknya, kusuruh tenang jantungku dari dalam kepala.
"Ngelamunin siapa sih?" Alis Ryan berkerut. Lucu, soalnya alis dia tebal. Kalau berkerut, jadi kayak cuma segaris. Kayak semut-semut lagi baris, tapi semutnya berjajar tujuh lapis.
Aku mendesis pelan sambil mengaktifkan mode 'sleep' di laptop. "Bos lu. Dari pagi dia nggak kelihatan. Apa udah balik ke habitatnya di London, diem-diem?"
"Bos gue kan bos lu juga. Masih di Indo kok dia." Dia merengut. "Tumben ngelamunin Ken. Memang ada apa kemarin lusa?"
Malas ah mau cerita ke Ryan. Malu. Jangan-jangan dia juga akan bilang aku nggak sopan. Jadi mendingan cerita hal lain aja.
"Soal rumah Cimahi. Ada apdet aja sih," kataku sambil menuju teras. Ryan jalan di sebelahku, tangannya memainkan kunci motor.
"Apdet apa?"
"Nanti ajalah." Kupastikan dulu aku masih akan di sini atau enggak, Ry. Aku pasti semangat cerita ke kamu kalau sudah tahu gimana nasib pekerjaanku.
"Baidewei, tumben kita makan ke luar? Kalau ada visitor gimana?"
Ryan nggak menjawab. Dia menutup dan mengunci pintu depan, lalu memasang tanda ini:
Wah. Penanda baru tuh. Apa Ryan membujuk Ken untuk bikin papan itu? Selama ini kami makan di dapur. Kami bergantian membelikan makan, tapi seringnya sih Ryan, karena dia punya motor. Selama dia pergi, aku dan Arwen membantu jawab kalau ada orang memesan makanan atau minuman. Kalau sekedar bayar pesanan, kami bisa mengoperasikan mesin kassa.
Senyum Ryan mengembang waktu dia selesai membalik papan itu. "Gue bilang sama Ken, jam karyawan yang benar itu harus rehat tanpa tugas di jam makan siang."
"Asyik! Dan Ken langsung setuju? Lu hebat!"
"Harus setuju dong. Siapa lagi yang mau dia dengar, kalau sepupunya aja enggak?"
Wait.
Ryan sepupu Ken? Kenapa dia baru kasih tahu sekarang?
Aku masih bengong di samping motornya sementara dia sudah duduk dan menyerahkan helm padaku. Lagi-lagi, dia senyum tanpa memperlihatkan gigi. Senyumnya imut gitu. Aku bisa diabetes kalau terus-terusan lihat mukanya.
"Jangan banyak bengong. Ada saatnya nanti kamu kenal kami semua lebih baik. Cepetan naik. Gue laper."
Ryan, kalau aku diberhentiin sama Ken, nggak bisa lagi aku menikmati muka kanak-kanakmu yang polos itu. Sikapmu yang baik. Senyummu yang bikin cewek-cewek pengunjung Chapter One klepek-klepek. Eh, bikin aku klepek-klepek juga sih.
Makan siang berdua doang dengan Ryan malah bikin aku grogi parah. Biasanya aku pesan nasi-ayam-kentang goreng-soda, sekarang hanya berani nasi plus ayam goreng aja. Minumnya air mineral. Jaim gini jadinya.
"Biasa lu makan segerobak-gerobaknya, sekarang cuma segitu. Kenyang nggak tuh?" Ryan mengawasi pesananku. "Diet?"
"Nggak napsu makan." Malu sama kamu, Tamvan.
"Ken bikin apa sama elu sampe bisa hilang napsu makan?" Dia nyengir, antara merasa geli dan pengin mengejekku. Aku tunjuk piringnya dengan memonyongkan bibir.
"Makan aja roti lu yang gede banget itu."
"Ini?" Dia mengangkat piringnya tinggi-tinggi. "Yakin lu nggak mau satu?"
"Lu makan cepetan atau gue nggak mau lagi gantiin jadi kasir kalau lu ke toilet."
Dia terkekeh dan akhirnya makan. Enaknya sama Ryan, aku masih bisa bercanda sebagai teman. Ryan nggak akan curiga kalau aku mulai menganggap dia istimewa. Lebih sedikit dia tahu tentang perasaanku, lebih baik. Aku nggak mau dia jadi jengah dan menjauh. Aku ingin tahu dulu yang pasti, perasaan dia sama aku tuh gimana. No way aku tembak dia duluan.
"Kalau lu sepupu sama Ken, kenapa lu diam aja waktu gue cerita tentang rumah Cimahi itu? Bukannya itu rumah tantemu juga, berarti?"
Atau jangan-jangan kamu anaknya Bu Ratih, Ryan? Cilaka tigabelas!
"Sejujurnya gue nggak mau terlalu tahu soal keluarga Ken dari pihak mamanya. Aku dari pihak papanya. Kami baik-baik aja dan dia hire aku bukan karena sepupu saja, tapi secara professional juga. Aku memang sekolah chef di Bali dan kebetulan dia butuh. So why not helping our family? Toh dia membayarku dengan baik."
"Sekolah Chef, tapi jadi barista? Overrated nggak sih?" Aku malah bingung.
"Gue kursus lagi untuk jadi barista."
"I see."
Makananku sudah habis, sedang Ryan baru saja mau mengambil gelas eskrim strawberry-nya. Warna coklat dan pink itu menggoda banget, ya Allah ... Kepingin nyicip...
"Mau?"
Sendok Ryan sudah berada di depan mulut. Aku sampai bengong menatapnya. Apa tatapanku begitu ngilernya ya tadi? Ampun, malu-maluin banget!
"Mau nggak?" ulangnya.
Hap!
Cepat aku makan es krim itu. Betulan enak! Dinginnya menusuk langit-langit, tapi manis dan asamnya ... enak luar biasa.
Ryan mengulum senyum. Disodorkannya gelas eskrim itu ke depanku. "Buat lu aja kalau suka banget."
"Jangan! Gue cuma pengin icip-icip kok." Gelas kecil itu pindah lagi ke depan Ryan.
"Kan sendoknya udah lu pake juga, Lis. Makan aja."
"Yah, elu pakek nawarin sih?"
Kok aku merasa dijebak ya. Nanti aku gendut gimana. Kan jadi jelek di depanmu, Ry.
"Nggak apa. Memang gue beliin buat lu, biar nggak panas mikirin Ken terus."
Matanya teduh banget. Dalam dan penuh pengertian. Aku sampai berpikir kalau Ryan ini bisa baca isi kepalaku. Memang aku masih mikirin Ken sekarang ini, tapi bukan seperti yang dia kira.
Ryan, please nggak usah bikin aku berpikir kamu cemburu aku mikirin Ken.
Please.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bilang Aja Napa [Completed]
RomancePernah ngerasain 'sebel tapi kangen'? Ini cerita tentang Carlissa, pustakawan penggalau karena ada dua cowok yang suka sama dia. Tapi yang dia suka cuma satu. Nunggu-nunggu ditembak sama gebetan, cowok satu lagi udah nembak duluan. Lebih sayang, la...