Part 52

1.9K 200 16
                                    

Ryan benar-benar menunjukkan kalau dia serius sayang sama aku.

Setiap hari dia berusaha membuat hariku cerah. Dia nggak pernah telat menjemputku dari sekolah. Dia nggak pernah lupa memberitahu rencana hariannya. Dia juga nggak pernah absen menelponku ketika aku sudah di rumah dan dia masih kerja di kafenya di pesisir Kuta.

Ryan belum mengajakku ke kafe itu. Selain karena udah terlalu lelah bekerja, aku juga lebih suka memakai hari Sabtu dan Minggu di rumah saja, mengobrol dengan Tante Savitri tentang seni pahat dan bisnis ekspor yang baru dirintisnya belakangan ini. Kadang-kadang Ryan nimbrung, tapi lebih sering dia tidur-tiduran di sofa sambil merem-melek mendengarkan kami ngobrol.

Tante Savitri juga senang banget waktu Ryan mengumumkan bahwa kami resmi pacaran. Biarpun agak jengah dengan istilah 'pacar', aku diam aja, nggak protes. Dan biarpun status kami sudah pacar, Tante tetap tegas soal hubungan seks sebelum menikah.

"Mama ini kayak nggak pernah muda," protes Ryan dengan bibir melengkung ke bawah, waktu ibunya mendelik karena Ryan memelukku erat dari belakang secara tiba-tiba. Waktu itu aku lagi coba-coba main piano.

Dia mencium pipiku, lalu duduk di sebelah ibunya.

"Mama cemburu," godanya.

Tante mencibir. Lalu mereka saling beradu kata dan mengejek. Aku sering iri diam-diam. Enak banget melihat interaksi Ryan dan ibunya. Kadang aku merasa cuma jadi penonton, atau orang luar.

"Mama dulu pacarannya cuma sebentar lho," sahut Tante sambil menegakkan punggung. Kalau sudah begitu, berarti Tante mau cerita panjang lebar. Aku sudah mulai hafal.

"Sebentar, tapi tiga tahun," ledek Ryan.

"Enggak ah! Mama LDR setahun. Lalu putus dulu, terus pacaran lagi," sambungnya ringan.

LDR selama setahun? Aku dan Ken nggak berhasil LDR dalam hitungan bulan.

"Rahasianya apa tuh, Tan? LDR selama itu?" Aku nimbrung karena penasaran. Sempat kulihat Ryan memandangku selama beberapa detik. Dia pasti mengerti kenapa aku tertarik.

"Rahasianya? Hmm ..." Ia berusaha mengingat-ingat. "Dulu kan belum ada ponsel. Jadi kami surat-suratan. Kalau nelpon lebih mahal lagi."

"Memang papanya Ryan tinggal di mana, Tan?"

"London."

Ah ya, aku lupa mereka masih kerabat.

"Surat-suratan begitu, perangkonya disimpan nggak, Ma?" Ryan jadi tertarik.

"Ada tuh! Mama simpan semua suratnya. Gara-gara itu Mama jadi filatelis. Mulai cari sahabat pena. Maunya yang di Eropa juga." Tante tertawa. Lalu ia menceritakan dari negara mana saja sahabat penanya berasal.

Aku berdecak kagum. Nggak nyangka deh kalau Tante Savitri punya hobi filateli. Aku termasuk generasi yang nggak pakai perangko lagi, jadi filateli sangat menarik kedengarannya.

"Perangko Mama di mana? Boleh buat aku?"

Tante menatap putranya, heran. "Ada di laci. Buat apaan, Ry? Memangnya kamu suka perangko?"

"Nanti Ryan bingkai, Ma. Daripada di album terus, malah rusak. Juga nggak bisa dinikmati. Sayang, kan?"

Tante kelihatan tertarik dengan ide Ryan. Kuakui memang usul Ryan bagus. Bisa kubayangkan, perangko-perangko itu disusun dalam pigura kaca dan dijadikan hiasan dinding. Pasti keren.

Ryan menjelaskan pada ibunya persis seperti yang kupikirkan. Dan sama sepertiku, Tante Savitri senang dengan ide itu.

"Besok Mama bongkar surat-suratnya deh," kata Tante dengan semangat. Dia menoleh padaku. "Kamu mau ikut bantu, kan?"

Bilang Aja Napa [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang