Part 15

2.4K 256 3
                                    

Sampai aku pulang, Ken belum kembali ke Cipaganti. Seperti biasa, aku pulang jam enam sore. Waktu aku pulang, Arwen juga sudah pulang (Ken menyuruhnya ke suatu tempat), sedang Ryan masih di sana sampai jam delapan malam. Untungnya nggak kerja di bagian cafe, aku boleh pulang jam enam. Tapi tentu saja Ken lebih menghargai kalau aku bersedia bekerja sampai Chapter One tutup. Akunya aja yang ogah.

Malamnya, Arwen whatsapp aku.

Arwen: Lis, tadi Ken marah ya sama elu?

Aku: Hah? Enggak kok. Kenapa?

Arwen: Ooo ... soalnya tadi sepertinya dia ngusir lu keluar dari ruangannya.

Kukirim emot ketawa.

Aku: Khas Ken ya, ngusir orang?

Arwen: Yaa ... dulu pernah dia ngusir keluarganya.

Omaigat.

Aku: Siapa, kalo boleh tahu?

Butuh waktu beberapa menit bagi Arwen untuk menjawab: Keluarga ibunya.

Saat ini di kepalaku ada keeping-keping puzzle yang belum bersatu.

Aku: Wen, kemarin gue disuruh ke satu rumah di Cimahi, tanyain harga jualnya. Nama yang punya tuh, Bu Ratih. Gue tebak. Bu Ratih ini keluarganya Ken?

Lagi-lagi, Arwen butuh waktu beberapa lama untuk menjawab.

Yoi. Jadi dia udah suruh lu suruh ke sana, ya. Penasaran deh, apa maunya.

Kubalas bahwa aku juga sama keponya, dan kepingin tahu apa langkah Ken habis ini.

Apa dia ada uang segitu banyak, Wen? Lu kan akuntingnya. Kekayaan dia ada satu em?

Arwen: Ada.

Kepingin rasanya cerita tentang temuan surat-surat yang dialamatkan pada Ken dan orangtuanya itu. Tapi nggak tahu kenapa, aku masih ragu. Biarpun kupikir Arwen adalah teman baikku selama dua tahun ini, rasanya dia tahu lebih banyak daripada yang diceritakannya ke aku. Dan jelas itu bikin aku bertanya-tanya, kan. Ken punya rahasia segelap apa, sampai Arwen dan Ryan terkesan menutupinya?

***

Buku-buku pesananku datang. Lumayan, dua kotak besar. Ken membeli banyak buku berbahasa Inggris - padahal aku sudah bilang, jarang ada yang baca. Tapi dia tetap pesan, jadi ya sudah. Toh ini semua uangnya.

Sepanjang hari aku menyampuli buku dengan plastik mika yang kubeli gulungan. Lalu sampul belakang bagian dalam, kutempelkan data buku yang sudah kucetak di kertas stiker. Buku-buku Ken nggak dikasih nomor katalog. Hanya ada catatan judul, pengarang, penerbit, dan tahun terbitnya saja di dokumen excel laptopku. Juga lokasi raknya. Soalnya, Ken nggak mau mengelompokkan buku fiksi di satu rak saja. Dia maunya semua jenis buku tersebar di semua rak.

"Padahal jauh lebih mudah kalau tiap rak itu satu jenis buku aja. Buku masakan doang. Buku anak. Buku sejarah, Buku politik. Bener, nggak?" tanyaku pada Ryan yang sedang membantuku menyampuli buku.

Dia tersenyum. "Memang, Lu usulin lagi aja. Tapi siap-siap bongkar rak lagi."

"Ogah."

Ryan tertawa kecil, menunjukkan giginya yang berderet rapi. Didorongnya buku yang baru selesai disampul ke depanku untuk diberi label.

"Kalau gitu, jangan ngomel. Apalagi di depan dia," ucapnya lembut, sambil menyampuli buku berikutnya.

Nada suaranya membuatku mengangkat kepala dari buku yang sedang kukerjakan. Ryan menatapku sekilas dengan pandangan yang sulit aku jelaskan. Lembut, tapi juga tegas, seperti melarangku untuk cari masalah dengan Ken. Ini bikin kekepoanku naik sampai level akut.

"Tolong deh Ry, ceritain apa aja masalah Ken sebelum dia pindah ke London. Gue yakin semua ini ada hubungannya. Kenapa dia suruh gue ke Cimahi nanya harga rumah? Gue yakin itu rumah dia. Benar kan?"

Ryan diam saja. Bibirnya terkatup rapat.

"Gue kira lu bilang kita keluarga," kataku kecewa.

Ryan berhenti menyampul, terdiam selama beberapa saat. Dia sedang menatapku, aku tahu. Tapi pura-pura nggak tahu ajalah. Aku terus saja menempeli buku dengan label. Sengaja kumonyongkan bibir supaya dia tahu aku kesal.

"Gue nggak yakin kalau gue orang yang tepat untuk cerita masa lalu Ken. Nggak bijak, kan, ngomongin masa lalu orang?"

Gusti ... Malu banget aku!

Rasanya pengin masukin kepala ke dalam pasir saking malunya. Apa pendapat Ryan tentangku sekarang? Tukang gibah?

"Maaf, Ry." Aku benar-benar menyesal. Harusnya memang aku nggak pakai senjata merajuk kayak tadi. Kutatap Ryan dengan rasa bersalah. Dia membalas tatapanku, lembut dan teduh. Tatapan kami saling mengunci selama beberapa detik, dan tiba-tiba aku merasa jengah.

Suara-suara mahasiswa yang tiba-tiba masuk menyelamatkan situasi canggung kami. Ryan berdiri untuk melayani para mahasiswa itu, tapi sebelum dia beranjak dari meja, disentuhnya tanganku pelan.

"Nggak apa, Lis. Gue tahu lu penasaran. Mungkin Ken sendiri bakal cerita." Lalu dia pergi.

Kupandang tangan yang barusan dia senttuh. Masih terasa kehangatannya, dan debar halus yang ditinggalkannya di jantungku.

Jangan-jangan, aku sendiri punya rahasia yang belum kutahu: perasaanku pada Ryan. Kenapa jantungku tiba-tiba berdebar begini kencang?

***

Ah, kenapa, Lissa?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ah, kenapa, Lissa?


Bilang Aja Napa [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang