Part 60

5.1K 242 19
                                    

Aku duduk berselonjor di pasir. Angin sore hari di Pantai Sanur hari ini tidak terlalu kencang. Tadi aku bilang pada Ken, pengin melihat matahari terbenam di Tana Lot, tapi dia nggak mau. Jauh, katanya. Dia khawatir Jessie sakit karena kecapean.

"Dia belum terbiasa dengan cuaca tropis, Lissa."

"Hm, oke. Tapi kalau mau tinggal di Indonesia, dia harus terbiasa."

Kami sudah seminggu di sini. Besok Ken dan Jessie harus kembali dulu ke Bandung, lalu ke Jakarta, dan kembali ke London. Masih banyak yang harus diurus Ken di sana untuk mengadopsi Jessie supaya bisa dibawa ke Indonesia.

"Seandainya saya bersedia menikah dengan Laura, pasti lebih mudah, ya." Begitu kata Ken tadi malam.

Aku nggak merespon. Seandainya dia sudah menikah dengan Laura, belum tentu juga jalannya akan seperti ini. Belum tentu kami akan tetap bisa bersama. Aku percaya tiap langkah yang kita ambil dalam hidup itu ada pengaruhnya. Semacam novel model 'Pilih Sendiri Petualanganmu' gitu. Tiap keputusan membawa kita ke langkah yang berbeda.

Jadi, aku percayakan saja semua pada Tuhan dan pada hukum di negara Ken. Aku yakin sih, Jessie akan bisa dia adopsi. Ken sudah mapan, dan Jessie tidak punya keluarga lain yang memedulikannya. Semua sudah meninggal – nggak tahu ya kalau ayahnya, tapi sang ayah kan masih misterius juga.

Mataku terpicing melihat Ken sedang main kejar-kejaran dengan Jessie. Anak itu tertawa-tawa saat kakinya masuk ke dalam pasir basah dan tidak bisa berlari. Dengan mudah Ken menangkap dan menggendongnya.

Hmh. Pantai memang selalu enak  dinikmati sore hari. Matahari terbenam  nggak kelihatan dari tempat ini, Sanur. Tapi nggak apa. Asalkan Ken ada, semua pantai bagus-bagus saja buatku.

Ken membawa Jessie di punggungnya, lalu menuju tempatku. Kemeja putihnya yang tipis menampilkan bayangan tubuh Ken yang kekar. Kemeja itu berkibar di tubuhnya karena angin. Seksi. Rambut Ken juga acak-acakan gara-gara tertiup angin, dan itu membuatnya makin ganteng aja.

"Kamu harus cepat putuskan mau tinggal di Bali atau di Bandung, ya," ucap Ken setelah duduk di sebelah. Jessie bermain pasir, membuat bentuk-bentuk geometris.

"Iya, itu yang berat. Aku suka di Einstein School. Kalau ke Bandung, aku nggak kerja lagi dong?"

"Kerja juga."

"Jadi apa?"

"Istri saya." Mata Ken tersenyum menggoda. Suaranya yang rendah dan lembut selalu berhasil membuatku berdebar-debar.

Kupukul lengannya, tapi dengan cepat dia menangkap.

"Kalau bicara soal menikah pasti muka kamu merah. Kenapa, Dove? Kamu malu dengan saya?" Dia menggenggam jemariku dan nggak mau melepas biarpun aku meronta.

"Malu. Soalnya aku takut langsung hamil."

"Memangnya kenapa kalau hamil? Saya ingin punya anak dari kamu. Anak kita berdua."

Ya ampun Ken. So sweet banget sih kamu. Aku juga mau banget, sumpah.

"Aku takut nanti badanku gendut, terus kamu nggak suka lagi sama aku."

"Hei! Arwen lebih langsing dari kamu, tapi saya memilihmu, kan?" Dia mengecup bibirku tiba-tiba. "Saya yakin kamu tetap cantik biarpun seratus kilo."

"Yang benar aja, Ken! Masa aku didoain sampai seratus kilo!"

Dia terkekeh. "Ya jangan. Tapi kalaupun kamu seratus kilo, saya akan tetap cinta kamu."

Tatapan matanya seperti mau menembus jantung. Binar-binar di iris coklat itu membuatku luluh.

Bilang Aja Napa [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang