Peluang.
Itulah yang dikatakan Ayah semalam waktu kutanya kenapa kali ini dia mengizinkan, padahal sejak aku lulus kuliah sampai tadi malam, Ayah selalu bilang untuk cari kerja di Bandung saja.
Tapi sekarang Ayah punya alasan untuk berubah pikiran.
"Belum tentu, Ayah panjang usia. Kamu harus sudah bekerja kalau Ayah kenapa-napa."
"Ayah! Plis jangan ngomong kayak gitu, Yah!"
Dia malah tersenyum. Katanya, siap tidak siap, aku harus menerima kenyataan bahwa orang harus mati, dan orang itu termasuk Ayah.
Tetap kubilang, aku nggak suka.
Tapi, aku senang karena Ayah sekarang berpikiran terbuka. Mungkin memang benar, saat sadar ajal makin dekat, manusia jadi lebih obyektif memandang persoalan.
Jadi, hari ini aku janjian sama Astina. Kami bertemu pada jam makan siang. Aku ingin curhat sekaligus cari-cari info lowongan. Siapa tahu aja kan, dia tahu ada posisi untuk seorang pustakawan!
Tapi acara makan siang kami malah didominasi dengan topik yang aku hindari: Ken.
"Bilang sama bos Inggris lu, Lis: rumah Cimahi masih atas nama Mrs. Puspita Alderink. Dan setahu gue, rumah nggak bisa dijual kalau ada ahli waris."
"Ahli warisnya, Ken?"
"Jelas dong! Itu kan rumah ibunya Ken! Ingat surat-surat lama yang gue temui itu? Sebagai anak, Ken berhak memakai itu rumah. Nggak boleh dijual sama keluarganya, justru!"
Aku menggaruk kening yang keringatan. "Kenapa Ken nggak tahu, ya? Capek-capek suruh kita ke sana untuk pura-pura beli!"
"Gue rasa, Ken nggak punya sanak keluarga yang bisa ditanyai soal rumah ibunya. Jadi dia berpikir ringkas aja. Rumah mau dijual? Ya sudah, dia beli! Padahal lebih ribet urusannya kalau dia sebagai orang asing mau beli rumah di Indonesia."
Aku berdecak kagum. Hebat banget wawasan temanku ini. "Kok lu paham banget, Tin?"
"Boss gue juga bule, kali!"
Aku baru tahu itu.
Baik, jadi Ken nggak perlu membeli rumah Cimahi. Rumah itu masih miliknya. Milik orangtuanya. Tinggal kujelaskan saja soal ahli waris. Semoga mood-nya jadi baik dan aku nggak jadi dipecat.
"Menurut lu, Ken harus gimana, Tin? Itu rumah kan lagi ditempatin. Mungkin itu tantenya, ya?" Aku mengingat-ingat kata-kata bu Ratih – bahwa rumah itu milik adiknya, yang sudah meninggal.
Bola mata Astina berputar menandakan dia bosan. "Paling gampang? Usir aja Ibu Ratih dari sana. Itu rumah Ken. Bu Ratih nggak punya hak untuk tinggal di sana."
Ken pernah mengusir keluarganya. Keluarga yang mana lagi?
Astina mencondongkan tubuh ke arahku. Matanya bersinar iseng.
"Ada cara baik-baiknya. Biarkan Bu Ratih menjual rumah itu. Lu yang beli, jangan gue. Ken harus menikah dengan elu untuk dapat rumah itu lagi. Kalo nikah sama gue kan berabe. Laki gue taruh di mana?"
Aku melotot.
"Lu gila apa!"
Dengan sikap tenang, Astina mundur, menghabiskan minumannya, lalu menatapku lagi. "Memang ribet. Makanya, usir aja. Atau Ken pakai cara ayahnya lagi: menikah sama orang lokal, dan punya rumah. Coba deh lu tanya-tanya ke kantor pemerintah."
Ngapain, repot amat. Ken saja yang tanya. Aku memang nggak bilang ke Astina bahwa Ken melarangku masuk hari ini. Kubilang saja lagi cuti. Sejujurnya, aku memang belum berani bertemu dengannya. Malu.
Tapi, besok aku harus menghadapi Ken. Dan semoga dia bersedia mendengarkan info terbaru dari Astina dan memaafkan ceplas-ceplosku yang nggak pada tempatnya.
I hope this will make his day.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bilang Aja Napa [Completed]
RomancePernah ngerasain 'sebel tapi kangen'? Ini cerita tentang Carlissa, pustakawan penggalau karena ada dua cowok yang suka sama dia. Tapi yang dia suka cuma satu. Nunggu-nunggu ditembak sama gebetan, cowok satu lagi udah nembak duluan. Lebih sayang, la...