Shion POV
Aku disini lagi, di sebuah desa di tempat nenekku tinggal. Dan aku berdiri di tempat yang sama ... lagi. Sekarang aku benar - benar yakin bahwa ini semua hanyalah mimpi karena sebelumnya aku belum pernah bercerita kepada Ran tentang nenekku dan desa tempatnya tinggal. Saat aku terbangun dan bertemu Ran, itu juga hanya mimpi.
Di desa ini benar - benar sepi, tidak ada dua anak yang bermain lagi, tidak ada ibu rumah tangga yang mengantar makan siang lagi. Benar - benar sepi. Hanya ada suara sepoi - sepoi angin disini. Di dalam kesunyian yang damai tiba - tiba ada seseorang yang memanggil namaku.
"Shion, kamu masih disini?" katanya seraya menghampiriku. Dia mirip sekali dengan anak berambut ikal bernama Dhani, hanya saja dia lebih besar, sekitar berumur 10 tahunan dan kulitnya lebih pucat.
Aku mengerutkan keningku, "Kamu siapa?" tanyaku.
"Kamu nggak ingat aku, ya. Padahal dulu kita sering bermain bersama," dia berhenti sejenak. "Ngomong - ngomong, kamu sekarang sudah dewasa, ya. Kamu juga sudah sukses. Aku bangga," ujarnya. Dia menatap langit berwarna biru cerah dengan mata teduhnya. Embusan angin yang menerpanya membuatku merasa ... sedih.
"Kamu mau menemani aku nggak, hanya beberapa saat saja, kok." Aku mengangguk, menyetujui permintaannya. Dia pun menggandeng tanganku yang lebih besar dari tangannya.
"Ayo kita main ..." dia menoleh kearahku, menatap kedua mataku. Dia pun tersenyum, "... Chi."
Tiba - tiba angin berembus ...
Setelah beberapa saat berjalan, kami pun berhenti di dekat danau. Dia masih menggenggam tanganku. Aku juga tidak berniat melepaskan tangan mungilnya. Tangan anak ini terasa sangat dingin, mungkin dia kedinginan, aku genggam tangannya lebih erat.
"Sepertinya kamu sudah lupa sama aku. Tapi aku bisa memaklumi, kok. Soalnya kita sudah berpisah lama." Raut wajahnya menunjukkan kesedihan.
Aku masih diam, aku tidak tahu harus menjawab apa, aku tidak tahu apapun tentang dia. Sama sekali.
"Kamu waktu kecil itu ... lucu, nggemesin. Setelah kamu tahu kalau aku lebih tua satu tahun dari kamu, kamu memanggilku kakak. Kamu menganggapku sebagai kakakmu sendiri, aku juga menganggapmu adikku sendiri, kok. Saat kamu datang kesini setiap satu bulan sekali, kamu pasti bawain aku lolipop. Kamu juga termasuk anak yang cengeng. Aku sering mengajak kamu main ke sawah. Kalau kamu terjatuh kamu pasti menangis. Aku jadi merasa bersalah waktu itu." Anak itu tersenyum.
"Shion, kamu juga--"
"Hanya ada ..." aku menyela perkataannya.
"Apa?"
"Hanya ada satu orang yang pernah aku kasih lolipop, hanya ada ada satu orang yang aku panggil kakak."
Anak itu memasang senyuman di wajah pucatnya.
Ak melanjutkan perkataanku, "Hanya ada satu orang yang pernah mengajakku ke sawah. Dan karena satu orang itulah aku sering mengajak mama dan papa berlibur ke rumah nenek." Tiba - tiba air mataku keluar tanpa seizinku.
Aku menoleh kearah anak itu, rupanya dia masih tersenyum, "Kak Dhani ..." dia pun mengangguk.
Aku sedikit berlutut kemudian memeluknya. Mendekap anak kecil itu yang telah meninggalkanku selama belasan tahun ini. Aku tidak bisa menahan air mataku agar tidak keluar. Panggil saja aku cengeng, aku tidak peduli.
"Kak ... Dhani."
"Iya, ini aku, Shion," ucapnya seraya mengusap punggungku yang bergetar karena menangis.
"Maafkan ... maafkan aku, Kak. Maaf k-karena ... karena nggak ingat kakak, hiks ... maaf karena sudah nggak pernah ... menjenguk kakak ... lagi," ucapku tersendat.
"Nggapapa, Shion. Kakak maafin kamu."
"Maaf, Kak ... hiks. Aku ... aku nggak tahu kenapa aku bisa lupa ... maaf, hiks."
"Sudahlah, kamu nggak berniat nangis terus, kan." Kak Dhani melepas pelukannya, kemudian dia menatapku serius.
"Ini pertemuan antara kamu dan kakak untuk yang terakhir kalinya, Shion." Aku menggelengkan kepalaku. Tangisku semakin deras.
"Jangan bilang itu ..."
Kak Dhani tersenyum, "Lalu aku harus bagaimana? Aku nggak mungkin bisa hidup lagi, Shion. Tubuhku sudah menyatu dengan tanah."
"Kak ... jangan seperti itu," air mataku masih setia membasahi pipiku. "Aku nggak mau berpisah lagi."
Kak Dhani menatapku, tatapannya memancarkan kesedihan, "Kamu harus kuat, Shion. Akan lebih baik kalau kamu melupakan kakak, tetapi kamu bisa bahagia daripada kamu harus menderita karena mengingat kakak."
Aku menggeleng cepat, "Aku nggak mau melupakan kakakku lagi."
Kak Dhani tersenyum, "Kalau begitu ikhlaskan aku pergi dan kamu harus berjanji kalau kamu akan ingat aku, tetapi kamu bahagia."
Aku mengangguk, "Iya, aku janji. Aku janji akan ingat kakak."
"Sekarang tersenyumlah, Shion." Aku pun tersenyum dengan susah payah, tetapi aku berhasil.
"Semoga kamu bahagia. Aku pergi."
Angin pun berembus kencang disertai daun - daun kering yang berterbangan. Bersamaan dengan itu, tubuh Kak Dhani perlahan memudar ... semakin pudar ... dan kemudian ... hilang.
"Hiks ... nggak!!" Aku menjatuhkan diriku dan memukul tanah berumput tempatku berpijak.
"Sial!! Kenapa aku harus kehilangan dia lagi? Kenapa?!!!" Aku berteriak guna menyalurkan kesedihanku. Alam yang melihatku hanya bisa diam. Bahkan angin pun telah berhenti berembus.
.
.
.
~~~
Aku terbangun dari tidurku. Peluh membasahi seluruh tubuhku. Bahkan rambut dan bajuku pun sampai basah oleh keringat. Sedangkan air mata masih mengucur deras dari mataku seakan tak bisa berhenti.
Aku menutupi wajahku dengan kedua tanganku, "Maaf,"
.
.
Tbc
Baper sendiri saat nulis ini 😢
Entah kalian sama bapernya atau enggak.Menurut kalian part ini gimana?
Silakan dijawab di komentar atau dibatin aja 😂Btw masih baper :'(
#pelukKise (?)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Childish Husband [SUDAH TERBIT] ✔
Romance[SUDAH TERBIT] Lulus kuliah adalah hal paling melegakan yang Ran rasakan setelah empat tahun berjuang mati-matian. Ran meyadari bahwa ini belum seberapa. Ia masih harus mencari pekerjaan secepatnya di usianya yang menginjak 22 tahun. Semuanya baik-b...