Jadi, langsung saja ke cerita.
Happy reading!!!<<••>>
Ran semakin sulit untuk bisa bergerak bebas karena perutnya yang semakin hari semakin membuncit. Kini kandungannya sudah memasuki bulan kelima. Belum lagi ditambah sang suami yang kadang 'merepotkan'. Namun, Ran tidak peduli dengan hal itu. Ke-childish-an Shion malah dianggap Ran sebagai hiburan, meskipun kadang membuat Ran kesusahan.
"Nggak mau, nggak mau, nggak mau!!!" ini sudah kesekian kalinya Shion menolak untuk makan malam tanpa memberitahu apa alasannya.
"Ya ampun, Shion, kenapa nggak mau makan? Dan juga, kamu jangan lari - lari, dong. Aku susah ngejar kamu," protes Ran sambil berusaha mengatur napasnya.
"Sekali enggak, ya, enggak!!!" bantah Shion dengan mata berkaca - kaca. Buset, dah, Shion.
"Hhh ... Sabar, Ran, itu suami kamu." Ran tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Tenaganya sudah habis untuk mengejar Shion tadi.
"Kamu tadi siang juga belum makan, masa sekarang nggak mau makan. Nanti kalau kamu sakit gimana, Shion Gerald?" kata Ran yang masih berusaha membujuk Shion agar bersedia makan malam. Jika saja tadi siang Shion sudah makan, Ran tidak akan memaksa Shion untuk makan malam sampai seperti ini.
"JANGAN PAKSA SHION!!! SHION NGGAK SUKA DIPAKSA!!" teriak Shion. Dia kemudian berlari menuju sofa depan tv, duduk di atas sofa sambil memeluk lututnya dan menangis.
Wait, what??? Shion nangis?
Bertambah lagi cobaan mu, Ran :)Ran hanya menghela napasnya. Dengan langkah perlahan ia berjalan mendekati Shion. Namun, sebelum Ran sampai, Shion bangkit dan menjauh dari Ran.
"JANGAN DEKATI SHION!!!" teriak Shion lagi.
"S-Shion, ini sudah malam, jangan teriak-teriak gitu. Oke, kalau Shion nggak mau makan nggapapa, tapi berhenti nangis, ya. Jangan lari dari Ran, Ran cape ngejar kamu terus," kata Ran.
Sepertinya Ran harus ekstra bersabar lagi jika anaknya nanti memiliki sifat seperti ayahnya. Bayangkan saja kalau ayah dan anak childishnya keluar dalam waktu yang bersamaan. Betapa kasihannya Ran.
"Shion nggak mau makan malam, nanti kalau Shion penuh lemak, terus Shion gendut, nggak ganteng lagi, Ran jadi ninggalin Shion, terus Shion harus gimana kalau nggak ada Ran? Huwaaaaa..." tangis Shion semakin kencang. Jadi itu alasannya?
Ran segera mengingat bagaimana cara menenangkan Shion saat dia menangis karena ada banyak cara yang Ran tulis di buku catatan. Bayangkan, sampai ditulis.
Sebuah bola lampu berwarna kuning tiba-tiba muncul di atas kepala Ran. Ran akhirnya ingat. Biasanya kalau Shion menangis, yang bisa menenangkannya adalah pelukan. Pelukan dari Ran maksudnya. Tidak mungkin dari Tony atau Jay. Bisa-bisa mereka berdua malah dicakar Shion.
Tony : kenapa kita dibawa-bawa coba?
Jay : nggak jelas emang
Orang Tak Dikenal : sssttt ... diam.
J&T : hmmm...Ran baru saja ingin menghampiri Shion. Namun, tiba-tiba kepala Ran terasa pusing dan sekelilingnya nampak buram. Ran bahkan hampir terjatuh karena tubuhnya terasa tidak seimbang.
Melihat Ran dalam kondisi yang kurang baik, Shion menghentikan tangisannya dan fokus kepada Ran, "Ran!" Seketika sikap childish Shion hilang begitu saja dann kembalilah Shion yang normal. Tamat.
Shion menghampiri Ran dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh, "Ran, kamu nggapapa?" Ran tidak menjawab pertanyaan Shion karena beberapa detik kemudian Ran tak sadarkan diri. Lagian Shion masih sempat-sempatnya bertanya seperti itu. Sudah jelas kalau Ran sedang tidak baik-baik saja.
"Ya ampun, Ran, bertahan!" teriak Shion.
.
.
.
Di rumah sakit, Dira mengecek keadaan Ran dan janinnya. Untung saja keduanya tidak mengalami hal yang serius. Shion bisa bernapas lega.
"Ran kenapa, Dir?" tanya Shion.
"Ran nggapapa, kok. Dia cuma kelelahan aja. Lo nggak nyuruh Ran melakukan pekerjaan berat, kan? Angkat sofa misalnya," tanya Dira. Shion bungkam. Tidak mungkin dia mengatakan kalau Ran sibuk mengurus rumah dan mengurus 'dirinya' saat sikapnya berubah menjadi childish.
"Shion, lu nggapapa kan? Jadi bener, lu nyuruh Ran angkat sofa?"
Shion tersadar dari lamunannya, "Eh, i-iya gue nggapapa. Dan jangan semabarangan ngomong. Gue nggak nyurih Ran buat angkat sofa. Kalau beh tahu, Ran boleh pulang sekarang, kan?"
Dira mengangguk, "Iya, boleh. Tapi ingat, jangan membuat Ran kelelahan lagi. Gue takut kalau terjadi apa-apa."
Shion mengangguk, "Makasih, Dir."
"Iya, sama-sama," jawab Dira.
Shion lalu membawa Ran pulang saat Ran sudah tersadar. Shion menjadi semakin merasa bersalah karena ia berpikir kalau ia hanya merepotkan Ran saja.
Saat ini, Ran dan Shion berada di kamar. Berhubung sudah malam, keduanya harus tidur. Tetapi, Shion belum juga menutup matanya, ia tidak bisa tidur karena masih merasa bersalah terhadap Ran. Merasa bahwa dirinyalah yang membuat Ran menjadi seperti ini hingga harus membawanya ke rumah sakit.
Shion menatap kearah Ran yang sudah memejamkan matanya. Wajah cantik Ran terlihat damai seakan-akan tidak ada beban yang menimpanya. Biasanya Shion melihat wajah lelah Ran ketika harus mengurus dirinya.
"Maaf karena aku nggak bisa menjadi suami yang baik. Aku selalu merepotkan, kekanak-kanakan, bahkan gara - gara aku kamu jadi kayak ini. Aku memang nggak becus. Pagi sampai sore kerja, kadang kalau pulang kerja sikapku yang itu datang, kamu kerepotan lagi. Seharusnya aku yang ngerawat kamu, bukan sebaliknya. Mungkin kalau kamu menikah dengan orang lain yang 'normal' kamu nggak akan seperti ini. Mungkin kamu akan lebih bahagia," kata Shion.
"Tapi kamu harus ingat, Ran, walaupun aku kadang merepotkan, ah bukan, aku selalu ngerepotin kamu. Tapi, aku banget sayang sama kamu. Btw, aku jujur lho ini. Tolong jangan pergi," Shion lalu mencium kening Ran dan menyusul Ran ke alam mimpi.
.
.
.
Tbc
See you
KAMU SEDANG MEMBACA
My Childish Husband [SUDAH TERBIT] ✔
Romance[SUDAH TERBIT] Lulus kuliah adalah hal paling melegakan yang Ran rasakan setelah empat tahun berjuang mati-matian. Ran meyadari bahwa ini belum seberapa. Ia masih harus mencari pekerjaan secepatnya di usianya yang menginjak 22 tahun. Semuanya baik-b...