(4) Arjuna

8.6K 775 12
                                    

Senyum pemuda ini mengingatkanku akan jurus-jurusnya Farish. Aku menata napasku senormal mungkin, agar tidak memperlihatkan rasa jengkelku.

"Hana," kataku sambil menjabat tangannya.

Bu Iyem mengajak Juna keluar untuk diperkenalkan kepada staf lainnya. Usai Kadiv mengenalkannya, suara riuh memenuhi ruangan IA. Kayak warewolf saat lihat purnama, saling sahut lolongan.

"Sebentar lagi IA hajatan nih," ujar pak Aris, Koordinator pusat.

"Pengertian nih Bu Iyem, naro staf yang bujang di tim Hana. Biar PDKT-nya gampang," sambut mbak Dira, salah satu SPV di unitnya pak Aris.

"Pas banget nih. Yang satu cantik, yang satu ganteng," timpal mas Doni.

"Ehem," dehaman bu Iyem sukses membungkam suasana. "Saya nggak mau ada afair di IA, ya!" serunya sambil mengedarkan mata, menyapu ruangan.

Aku menahan tawa, melihat orang-orang yang sebelumnya rusuh, menjadi diam dan menyembunyikan muka di kubikel masing-masing. Wajahku ikut tegang, ketika bu Iyem memandangku lama, sambil membetulkan kacamatanya yang melorot. Juna bersikap santai seolah tak terpengaruh dengan perubahan atmosfir di ruangan. Dia masih bisa tersenyum dan menggangguk saat bu Iyem menepuk bahunya.

Messi melambaikan tangan dengan mimik muka yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Kalau aku tak segera mendekat, dia akan menghujaniku dengan senjata pamungkasnya, ocehan tanpa titik dan koma.

"Han, cucok juga tuh. Masih single kan?" bisiknya setelah aku mendekat.

Aku hanya mengangkat bahu.

Ya ampun! Dia manggil cuma untuk tanya itu doang? Messi nggak percaya dengan jawabanku. Kenapa juga aku tutup-tutupi kalau memang tahu? Pertama, aku benar-benar nggak tahu. Kedua, aku nggak mau tahu.
Aku menggeser kursi dan menghempaskan tubuh. Baru saja kuraih tetikus, Juna sudah berdiri di sampingku.

"Kenapa?" tanyaku singkat.

"Mbak, mejaku di mana?" katanya dengan senyum mengembang.

Aku diam sebentar. Berpikir. Akhirnya aku membereskan beberapa berkas yang kutaruh di kubikel di sebelahku. "Lo di sini," jawabku, "nggak usah manggil Mbak-mbak segala. Risih. Panggil nama aja. Yang lain juga gitu. Kecuali pas meeting."

"Siap, Mbak, eh Hana," sahutnya sambil membersihkan debu di sekitar monitornya.

"Gue Messi. Kita satu tim," ucap cewek yang tadi manggil-manggil, tapi tanya hal yang nggak penting. Dia sambil menyodorkan tangan di atas sekat meja.

"Juna," balasnya dengan ramah.

Entah apa yang ada dipikiran Messi saat ini. Setelah berjabat tangan dengan Juna, dia tersenyum melihatku. Aneh. Ponselku bergetar, nama Annisa terpampang di layar. Aku menepuk jidat. Lupa sama janjiku. Berhubung sudah jam dua belas, aku bisa menerima telepon di ruangan dengan leluasa.

Annisa itu besties-ku di kampus. Dia paling tahu aku tuh kayak gimana, tapi dia juga resek, suka manfaatin rasa nggak enakanku. Kayak tadi, dia bolak-balik telepon dari pagi, merengek agar aku mau membantu bosnya di kantor. Apa pula itu? kenapa harus aku? Rasanya ada udang di balik tepung, nih.

"Han, makan apa?" tanya mbak Dira, "mi ayam, yuk! Yang di ujung jalan dekat pasar. Udah coba belum?" sambungnya.

"Tukang mi ayam dalam radius lima kilo, udah dijamah Hana semua, Mbak," sela Messi.

"Aku lupa. Kalau bocah ini addict sama mi ayam."

"Rumpi deh. Udah ayo jalan. Mau ikut nggak lo, Mes?"

"Ikut. Eh Jun, lo mau ikut juga nggak?" ajak Messi.

"Boleh deh. Aku belum tahu daerah sini. Kita naik apa?"

"Jalan kaki, Bro!," sahut mbak Dira, "yuk, ah! Keburu ramai nih."

================================

Duh, jadi mau mi ayam juga. Rese nih. Lagian kenapa juga aku bikin si Hana doyan mi ayam yaaa?? 🤔

Mupeng tapi mager. Komplit sudah. 🙄

Pokoke, happy ready and enjoy!
-San Hanna-

LOVAUDITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang