(8) Rich Dad, Poor Dad

6.6K 578 11
                                    

Sabtu pagi, biasanya orang-orang seumuranku sedang leha-leha di kamar, melakukan beberapa hal yang bisa membunuh waktu sampai sore, lalu hangout dengan sesamanya. Entah cuma masuk-keluar toko di mall tanpa membeli apapun, atau sekedar nongkrong di café, membeli segelas besar kopi, lalu menikmati  wifi gratis untuk streaming sepuasnya. Kalau nggak melakukan itu, apa aku aneh? Nope!

Aku terpaksa mengabari Annisa, kalau jadwalnya harus berubah. Memang aku yang menjanjikan datang jam sembilan, tapi berkas yang diminta Farish makin meluas, terpaksa aku memundurkan waktunya. Aku pastikan ada di sana sebelum tengah hari.

Aku bertugas mengaudit laporan perusahaan papa per tiga bulan, tapi kalau ada kasus yang luar biasa, aku nggak mungkin berpangku tangan. Walau bagaimanapun, perusahaan ini milik keluarga. Jadi, inilah sabtu pagiku, seperti kata Farish, kencan dengan data dan masalah.

***

Jarak kantor Annisa dan rumahku lumayan jauh. Tadinya aku mau bawa kendaraan sendiri, tapi nggak jadi. Akhirnya aku memutuskan untuk naik ojek online. Lumayan, masih ada promo setengah harga. Meski begitu, aku pasti membayar penuh untuk jasanya. Banyak yang bilang, kalau anak ekonomi itu pelit-pelit. Karena menerapkan prinsip ekonomi, yang berbunyi lebih kurang seperti ini, Mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya, dengan biaya yang serendah-rendahnya. Oh, come on! Its so yesterday. Sudah basi prinsip itu.

Ngomong-ngomong soal prinsip, salah satu rekan sejawatku, punya moto yang lebih ajib lagi. Dia bilang, “Sekarang itu, zamannya mengubah pengeluaran jadi pendapatan.” Bingung nggak tuh?

Serius bingung? Aku kasih referensi bacaan yang membahas hal itu. Buku karya Robert T. Kiyosaki, yang berjudul, Rich Dad, Poor Dad. Isinya gamblang, jadi mudah dicerna oleh orang non ekonomi.

Perusahaan tempat Annisa bekerja terbilang unik. Posisi kantornya berada di dalam lingkungan perumahaan di bilangan Jakarta Utara. Tapi, jika sudah melihat lokasinya, bisa dimaklumi alasan pemilihan tempatnya. Annisa bekerja di perusahaan yang menjual perabotan dari keramik. Mulai dari peralatan makan, seperti piring, mangkuk, gelas, teko, dan lainnya, juga vas-vas bunga berbagai ukuran. Bukan itu saja, mereka pun menerima pesanan untuk promosi dan souvenir. Bahkan, perusahaannya juga melayani penjualan ecer.
Nah, penjualan ecer ini yang jadi sumber masalah pertama, yang kemudian merembet ke hal-hal lainnya.

Aku tiba di depan sebuah ruko gandeng, seperti yang diinfokan Annisa. Ruko dengan cat oranye terang pada dindingnya, dan kaca bening nyaris menutupi bagian depannya. Tidak ada papan nama perusahaan atau toko di depan bangunan tiga lantai itu. Ada sebuah mobil SUV hitam yang terparkir di halaman depan, satu mobil box berukuran sedang, dan tiga unit motor, terparkir di bagian samping. Ruko ini tepat berada di hook, jadi pemilik bisa leluasa membuat sebuah pintu lainnya.

Annisa berpesan agar aku langsung masuk saja jika sudah tiba. Di hari Sabtu, biasanya dia repot dengan urusan transport dan uang makan untuk karyawan. Aku berpapasan dengan beberapa orang sesaat setelah membuka pintu kaca. Susunan perabot keramik yang dominan putih solid, menyambutku. Semua tertata rapi, menurut jenis dan warnanya. Rak-rak besar dan tinggi membingkai ruangan.

“Mama kalau lihat tempat ini, kayaknya bakal borong banyak. Apalagi tea pot set yang itu,” gumamku saat melihat teko dan cangkir berulir vertikal, dengan gambar bunga berwarna salem dan hijau.

“Cari apa, Mbak?” tanya seseorang tepat di sebelahku.

Aku terkesiap mendengar pertanyaan lelaki muda itu. Mungkin karena terlalu mengagumi tempat ini, aku tidak menyadari kehadirannya.

“Hah? Eh, maksud saya, nggak. Saya ke sini cari mbak Annisa, bagian keuangan. Dia ada?”

“Oh, ini temannya mbak Annisa, yang orang KPK itu, ya? Ayo ikut saya, Mbak.”

KPK? Sejak kapan? Ada yang aneh nih! Aku membatin.

Lelaki itu sepertinya salah satu karyawan di sini. Dia menuntun jalan menuju bagian belakang toko. Ada sebuah ruangan yang separuh sekatnya berupa kaca gelap. Mungkin untuk mengawasi bagian toko dari dalam, tanpa diketahui orang yang di luar. Di depannya ada sebuah meja kayu yang cukup besar, dengan sebuah komputer, dan tumpukan buku di atasnya.

“Mbak tunggu dulu di sini, saya panggilkan mbak Annisa,” ucapnya, sebelum berlalu.

LOVAUDITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang