Umurku sudah 23 tahun, yang secara hukum pun sudah terbilang dewasa. Sayangnya, hukum itu nggak berlaku untuk Mama. Di matanya, aku masih gadis kecilnya yang perlu diawasi ke manapun. Buktinya, Mama ada di sini, di kamarku, sibuk menyiapkan keperluanku untuk ke Bandung.
“Ma, Hana cuma ke Bandung, itu juga seminggu doang paling lama, kenapa bawa kopernya kayak Hana mau pindah ke Mars, sih? Itu bantal gepengnya nggak perlu di masukin juga dong!” Aku mengambil bantal berbentuk Piyo-piyo yang sudah sangat tipis dari tangan Mama.
“Nanti kamu nggak bisa tidur, kalau nggak ada bantal itu.” Mama masih menyelipkan selimut ke celah yang sengaja disisakan di koper.
Aku mengambil laginya, “Ma, ini juga nggak perlu dibawa.” Aku melempar selimut sembarangan ke atas tempat tidur. “Aku kan tidurnya di hotel, pasti ada selimut Mamaku sayang. Lagian, biar Hana sendiri aja, kenapa sih? Hana sudah gede, Ma!”
Mama tetap menata isi koper tanpa menghiraukan ocehanku. “Udah gede?” cibir Mama, “makan sayur saja harus dipelototin, minum air putih harus diingetin, apanya yang udah gede?”
Aku membuang napas kesal. Apa kaitannya sama urusan perut. Aku kan bukan balita yang harus diperlakukan kayak gitu. Dari pada debat dengan Baginda Ratu Jodha, yang sudah dipastikan siapa pemenangnya, aku diam saja. Pasrah. Ponselku berkedip dan bergetar di nakas. Nama Erland, muncul di layar.
Aku memegang dada, jantungku mirip gendang yang ditabuh. Dentumannya kencang, tanganku jadi berkeringat. Berkali-kali aku mengelap telapak tangan dengan menggosokannya ke celana. Sudah beberapa hari belakangan ini, aku dan Erland sering berbalas pesan. Semula masih seputar SOP yang kuberikan, tapi lama-lama obrolan kami lebih dari itu. Kadang dia memulai chat pada jam makan siang, atau malam sebelum tidur, seperti sekarang ini. Selalu dia yang mulai. Catat ya! Erland yang mulai bukan aku. Walau aku pun sebenarnya nungguin. Nggak pa-pa, kan? Toh Erland vacant, kata Annisa. Hari ini, kenapa tiba-tiba dia nelepon? Kan aku jadi salah tingkah begini. Mana ada Mama lagi. Duh! Angkat, nggak, ya?
Layar ponselku gelap. Tapi kenapa perasaanku jadi nggak enak gini. Harusnya aku angkat saja tadi. Aku memandangi layarnya yang tetap tidak berubah. Cukup lama aku menatapnya, sampai Mama memanggil. Padahal panggilannya pelan, bahkan nyaris nggak terdengar, tapi aku kagetnya bukan main. Ponsel di tanganku sampai terlempar ke udara, tepat saat layarnya kembali berkedip. Hatiku girang. Erland telepon lagi.
“Kamu kenapa sih, Han? Aneh begitu. Siapa yang telepon? Kok nggak dijawab?”
“Hah? Ng ... itu, teman. Malas, Ma. Aku lagi packing.” Aku nggak berani natap Mama saat mengucapkan kalimat itu. dalam sekejap, momen beres-beres bisa berubah jadi interogasi. Aku sengaja membuatnya dalam mode senyap, lalu menyembunyikan ponsel di bawah bantal, menunggu Mama keluar dari kamar.
Tepat lima belas menit kemudian, Mama baru keluar setelah meletakkan koper di sudut kamar. Aku mengunci pintu, lalu menghambur ke tempat tidur, mencari hape. Pas! Layarnya berkedip lagi. Aku nggak melihat lagi nama siapa yang terpampang. Langsung saja aku angkat.
“Halo. Maaf ya, tadi ada Mama. Nggak enak kalau aku angkat. Tumben telepon, biasanya chat. Ada apa?” aku terus membombardir dengan pertanyaan.
“Kamu nungguin aku nelepon? Serius? Wah! Perlu dirayakan nih,” sahut suara diujung sana.
Tubuhku kaku seketika. Rasanya darah nggak mengalir dengan baik. Aku menjauhkan ponsel dari telinga dan menatap layarnya. Mataku membelalak membaca rangkaian huruf yang bertengger. Juna. Iya, Juna, J-U-N-A.
“Non, kok diem? Jangan salting gitu dong. Biasa aja.”
“Kutu kupret! Ngapain pake telepon-telepon jam segini? Nggak puas lo, modusin gue di kantor?” semprotku.
“Siapa yang modusin? Lo pikirannya jelek mulu sama gue. Jangan benci-benci, tar jadi cinta, yang malu siapa?”
“Udah ah, gue ngantuk. Males ngadepin lo.”
“Han! Jangan ditutup dulu. Sori. Sori. Serius ada yang gue tanyain.”
Aku mendengus kesal, “Apaan?”
================================
Aku mulai rese', hahahahaha. The troubles begin.
Oiya, eh.. Eh aku hepi lhooo. Liat rank lovaudit nangkring di peringkat 2. Thanks to you, gaaaes!! 😘😘😘
Next part, porsi serba-serbi tugas auditor mau aku tambahin, mulai masuk ke konflik dikit-dikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVAUDIT
ChickLitSUDAH TERBIT - penerbit Cerita Kata "Jadi auditor itu nggak enak!" Kalimat itu sering dilontarkan keluarga dan sahabatku meski sudah sering kujelaskan bahwa menjadi auditor adalah panggilan hati. Temuan di kantor, kasus di rental, bahkan gosip aneh...