Untung saja semua selesai sesuai jadwal dan hasilnya pun memuaskan. Bu Iyem ikut memantau kerja tim audit di hari terakhir. Melihat orang nomor satu di IA tersenyum, membuatku bernapas lega. Messi masih merengek minta ditemani berkeliling Bandung setelah berbelanja di jalan Riau. Setelah check-out, aku dan Messi masih berdiskusi di lobi.
“Kita naik apa? Taksol?” tanya Messi.
“Sewa mobil aja, di rental Babe gue. Sekalian mau ngecek kondisi di sana. Kata Farish, sih, lagi sedikit bermasalah.”
“Boleh, tuh. Kalau anak pemiliknya yang nyewa, kan bisa gratis,” sahut Messi semangat.
“Gratis, jidatmu! Nggak bisa. Tetap bayar penuh. Kita patungan.”
Messi merengut sesaat, namun akhirnya dia setuju. Untuk sampai ke rental mobil, kami memutuskan untuk memesan taksi online.
“Pasteur, Mes,” ucapku di samping Messi yang sedang mengetik tujuan di aplikasi ponselnya.
“Pada mau ke Pasteur?” tanya Juna, yang datang entah dari mana. Aku dan Messi mendongak kea rah datangnya suara. Aku mengangguk. “Bareng aja, yuk! Gue mau balikin mobil sewaan kemarin. Di Pasteur juga kok. Atau kalian mau rental di situ?” tanyanya lagi.
“Boleh tuh, tumpangannya,” sambar Messi, “tapi kita mau sewa mobil di rental Papanya Hana, Jun.”
Juna menggaruk kepalanya. “Gue lupa. Padahal kemarin Hana cerita, ortunya punya rental.”
Mereka ngobrol seolah-olah aku nggak ada di situ. Messi pakai senyam-senyum nggak jelas saat menanggapi guyonan Juna. Lupa apa tuh dia, kalau sudah punya suami. Eh, kenapa aku mendadak kesel begini, ya?
“Mes, laki-lo gimana tuh pas kemarinan dengar Bu Iyem marah-marah?” selaku langsung memotong pembicaraan mereka.
“Dia langsung balik kanan. Dia kan lagi ada kerjaan di luar kota, kemarin mampir doang sebentar. Hari ini dia sih balik, mau pulang bareng nanti. Tapi, jemputnya malam. Makanya gue minta lo temenin gue muter-muter dulu,” jelasnya sambil mesam-mesem.
“Nggak masalah. Brownies panggang Prima Rasa, bolehlah jadi imbalannya. Nggak banyak, dua saja. Deal?” aku mengulurkan tangan, Messi mengerucutkan bibirnya, kemudian menyambut tanganku dengan terpaksa.
“Deal,” jawabnya malas. “Eh, Jun. Lo mau ikut kita, nggak?” tawar Messi.
Juna tersenyum lebar, jantungku kembali berdetak aneh. “Tawaran yang menggoda. Sayang, gue harus ke Bogor. Ibu sakit,” ucapnya lesu.
“Ya ampun. Cepat sembuh, ya, buat Ibunya. Uhm ... lo nggak usah nganterin kita, Jun. Biar lo langsung balik aja ke Bogor,” tuturku cepat.
“Itu mah nggak masalah. Kan tadi aku bilang sekalian jalan.”
“Ih, mulai aku-akuan lagi,” protesku.
“Ih, ge-ernya kumat. Mes, tadi gue ngomong apa?”
Messi hanya mengangkat bahu sambil mengulum senyum. Tanpa membuang waktu, kami langsung berangkat. Arahan yang ditunjukan peta, memang se-arah dengan tujuan Juna. Bahkan aku merasa, kami akan pergi ke tempat yang sama. Jadi muncul banyak pertanyaan di kepalaku. Jika tujuan kami sama, kemungkinan besar Juna menyewa mobil di rental Papa. Tapi, dalam radius lima ratus meter, tidak ada perusahaan serupa. Jika dugaanku benar, artinya memang ada yang tidak beres di sini. Mobil yang dipakai Juna sekarang, tidak ada dalam inventaris perusahaan. Papa nggak pernah membeli city car untuk di sewakan. Semoga dugaanku salah.
“Ibu SPV sepertinya menemukan temuan baru, nih,” tutur Juna dari balik kemudi.
Sontak aku menoleh ke Juna, tepat di saat dia sedang memperhatikanku. Pandangan kami berserobok. Messi berdeham, aku dan Juna langsung mengalihkan pandangan.================================
Holaaaa...
Eh, nulis part ini, kok mendadak jadi pengen ganti judul. Bandung love story. Cucok gaaak??
Nggak banget yaaa. Kaga pas sama genre wajibnya, chicklit.
Gara-gara kelakuan Juna nih. Hana juga kenapa jadi gitu yaa? Ada yang tempe jawabannya?
Daripada si Hana ngurusin jantungnya yang mulai abnormal, kita kasih dia kerjaan aja gimana?? Biar nggak mentang-mentang jadi auditor, bisa mikir negatif mulu. Ya,kan??
Ekh, kok aku jadi nyolot yaaa?? Kurang mi ayam rupanya.
Maaf yaaa, telat lagi updatenya. Semoga besok bisa langsung 2 part. Doakan yaaa.
San Hanna
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVAUDIT
ChickLitSUDAH TERBIT - penerbit Cerita Kata "Jadi auditor itu nggak enak!" Kalimat itu sering dilontarkan keluarga dan sahabatku meski sudah sering kujelaskan bahwa menjadi auditor adalah panggilan hati. Temuan di kantor, kasus di rental, bahkan gosip aneh...