(3) Tukang Cari Kesalahan

10.9K 868 20
                                    

Semua pekerjaan, kalau nggak dikerjakan pakai hati, berat. Dilan saja nggak mampu untuk menanggungnya. Bagi orang lain yang nggak akrab dengan profesiku, pasti berpendapat nggak jauh dari apa yang dibilang keluargaku. Annisa malah bilang, Jadi auditor itu nggak baik. Curigaan mulu dan suka cari-cari kesalahan orang.

Agak ribet memang jelasin sesuatu ke orang yang sudah under estimate duluan. Berkali-kali aku bilang ke Annisa, kalau skeptis alias curigaan versi dia, itu memang bawaan profesi. Beda sama orang hukum yang menganut asas tidak bersalah.

Catat nih ya! Kami, para auditor, memang menyetel alarm seperti itu di kepala. Fungsinya sebagai panduan kerja. Ibarat detektif, yang harus memiliki kepekaan dalam membaca situasi, auditor pun sama. Harus peka membaca laporan yang disodorkan. Honesly, aku nggak setuju dengan istilah cari-cari kesalahan orang, kedengarannya kejam. Sudah tugas kami untuk mendeteksi kesalahan. Ah, bukan kesalahan tapi kewajaran.

Kamu bingung? Baik, aku kasih ilustrasi untuk membantu. Misalnya, dalam bulan-bulan tertentu, biaya gaji dan tunjangan pegawai seratus juta. Jika ada kenaikan dan penurunan dalam jumlah yang relatif sedikit, biasanya ada penambahan atau pengurangan karyawan, dan itu wajar. Jika dalam bulan lainnya, biaya gaji dan tunjangan naik sampai dua kali lipat, wajar nggak? Bisa dianggap wajar, bisa juga jadi temuan, tergantung dari dokumen pendukungnya. Data yang dilampirkan, ternyata pada bulan tersebut ada pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR), karena bertepatan dengan Idul Fitri. Maka kenaikan yang sampai seratus persen itu dianggap wajar.

Sampai sini kamu ngerti kan? Jangan bilang nggak, atau otakmu perlu kuaudit sekalian, untuk menilai kewajarannya?

***

Ponselku terus bergetar. Nama Annisa bertengger di layar. Aku nggak mungkin menerima telepon saat sedang meeting. Tak lama sebuah pesan whatsapp masuk. Aku membuka kunci, lalu membaca isinya. Annisa memintaku menghubunginya segera, ada hal penting. Aku membalasnya singkat, hanya dengan dua huruf, OK.

Setengah jam sebelum makan siang, meeting dengan Kepala Divisi (Kadiv) akhirnya selesai. Mendekati triwulan ketiga, biasanya di kantor ada pemeriksaan petty cash atau kas kecil. Setiap departemen yang mengelola kas kecil, harus mempertanggungjawabkan hal itu dengan menunjukkan fisik dananya. Jika terdapat selisih, pengelola wajib melampirkan bukti pemakaiannya berupa nota atau sejenisnya.

Pertemuan tadi untuk membagi tim kerja. Maklum, Divisi Internal Audit (IA), adalah Divisi yang paling sedikit stafnya. Hanya ada empat tim, yang terdiri dari dua staf, satu supervisor (SPV), untuk satu tim. Dua koordinator, yang masing-masing membawahi dua tim, dan terakhir ada Kadiv, yang mengepalai IA.

Posisiku sebagai apa? Kamu belum bisa mengambil kesimpulan? Oke, kita kenalan dulu. Seperti kata pepatah, Tak kenal maka tak sayang. Namaku Farhana Widjaya, biasanya dipanggil Hana. Usiaku saat ini baru 23 tahun lebih sedikit. Dalam usia semuda ini, aku sudah menjadi karyawan tetap di perusahaan. Karirku terbilang cemerlang. Satu tahun sejak resmi diterima sebagai karyawan, aku langsung diangkat menjadi karyawan tetap. Di tahun kedua, aku mendapat promosi untuk posisi SPV. Jadi, sekarang sudah tahu kan?
Nggak percaya? Itu urusanmu, bukan urusanku. Informasi saja, sebelum resmi menjadi karyawan di sini, aku sudah magang satu tahunan, saat statusku masih mahasiswi. Aku sudah hafal betul prosedur dan operasional perusahaan. Jadi, setelah resmi menjadi karyawan, tugas untuk memeriksa kewajaran laporan, bukan hal baru buatku.

Belum juga bokongku menyentuh kursi dengan sempurna, kepala Bu Iyem, Kadiv IA, menyembul dari ruangannya. Dia mengisyaratkanku untuk ke ruangannya. Bu Iyem itu nama sebenarnya, bukan julukan. Beliau ini, orang nomor wahid di divisi IA. Otaknya jangan ditanya! Sambil merem pun, dia bisa tahu mana pos-pos yang wajar, mana yang tidak. Ngeri, kan? Makanya, jangan suka nge-judge orang dari namanya.

Di dalam ruangan bu Iyem, ada seorang lelaki muda. Dilihat dari penampilan, sepertinya usia kami nggak beda jauh. Mungkin selisih satu atau dua tahun, di atasku.

“Hana, ini Arjuna, staf baru di timmu,” ucap bu Iyem, memperkenalkan.

Lelaki itu menyodorkan tangannya dan mengulang menyebut namanya, “Arjuna. Panggil saja Juna,” ucapnya dengan senyum nggak lepas dari wajahnya yang bebas bulu.

================================

Perjuang banget menyelesaikan part ini. Kepala kleyengan, bersin-bersin. Demi menunjukkan ke konsistenan. Semangaaaat.

Semoga kalian suka yaa. Happy reading n enjoy!

-San Hanna-

LOVAUDITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang