Saat-saat kayak gini, cuma Annisa yang bisa mengerti perasaanku. Bukan hanya dia nggak ada di sini sekarang, tapi dia juga yang jadi penyebab hal ini terjadi. Jangan sok menasihatiku! Aku tahu apa yang kulakukan. Kamu nggak akan bisa tahu apa yang kurasa, kalau kamu nggak pernah mengalaminya. Aku merasa dibohongi. Vacant, katanya. Vacant apanya?
Tahu nggak sih, kalau kepala mumet begini, orang nggak akan bisa konsen kerja? Hari ke empat rekon, aku nggak bisa menunjukkan progress yang berarti. Messi membelaku, dengan mengatakan aku sedang tidak enak badan. Untung Messi dan Juna bisa melengkapi kekuranganku.
Saat makan malam, Juna mengajakku dan Messi untuk berkeliling Bandung kota. “Kita muter-muter daerah sini saja. Ke gedung sate, ke taman yang viral itu, terus langsung balik ke hotel, tapi jalannya muter yang jauh,” katanya sambil terkekeh.
Aku hanyak menarik garis bibir sedikit. Messi kembali ke meja buffet untuk mengambil makanan. Saat itu, Juna menggeser kursinya.
“Gue tahu ada yang ganggu pikiran lo, walau gue nggak tahu itu apa. Lihat kondisi lo dari kemarin malam dan seharian ini, rasanya lo butuh ... apa ya? Semacam ganti suasana gitu. Serius, gue nggak ada maksud untuk modus atau apapun yang lo tuduhin. Swear!” Juna mengangkat dua jari.
“Udah ikut saja, Han. Cuma muter-muter doang,” sambar Messi yang baru datang dengan piring penuh makanan di tangannya. “Jangan ngajakin Hana dugem. Dia masih polos, walau galak,” imbuhnya sambil menatap Juna dengan tajam.
“Emangnya lo nggak ikut, Mes?” tanyaku.
Messi mengulum senyum tersenyum, lalu menggeleng. “Laki gue mau dateng, Han. Lo mending pergi aja sama Juna. Lamaan dikit ya! Lumayan, kan, daripada buka kamar lagi,” bisiknya di telingaku.
Aku menoyor jidatnya. Juna bingung melihat tingkahku dan Messi. Akhirnya aku menyetujui saran Juna. Messi memeluk dan menatapku penuh arti. Usai makan malam, aku dan Juna langsung meluncur. Seperti ucapannya, dia benar-benar mengajakku ke gedung sate. Kami hanya mengelilinginya dengan kendaraan.
Juna menghentikan mobil di pinggir jalan yang cukup sepi. Aku mendelik kesal. “Tuh! Mulai lagi skeptisnya. Lihat di samping, lo!” Juna menunjuk dengan dagunya.
Mungkin kalau di komik, mataku akan membesar, berbinar, dan berkaca-kaca, lalu muncul bunga-bunga sebagai latar. Mi ayam! Itu tukang mi ayam. Tanpa mengucap apa-apa, aku membuka seat belt dan ngeluyur pergi meninggalkan Juna. Walaupun polosan, alias mi ayam tok, tanpa pangsit rebus atau bakso, nggak masalah. Intinya aku menemukan pengobat rindu. Tahu nggak sih? Rasanya itu mirip ketemu oase di gurun. Aku baru ingat sama Juna. Dia sudah turun dari mobil dan ikut memesan menu yang sama. Padahal di situ ada penjual batagor dan mi kocok.
“Sori ya, Han. Jam segini yang masih buka, ya di pinggir jalan begini. Kalau yang ada tempatnya, buka sampai sore doang. Tadinya aku mau ngajakin kamu ke warung Mie Ayam Baso Progo, yang di jalan Progo, Riau. Sayang, tutupnya jam enam sore.”
“Gak pa-pa, Jun. Ini aja gue udah seneng, kok. Hampir seminggu ini gue nggak ketemu mi ayam.”
Aku dan Juna, bicara banyak hal. Termasuk tentang mobil siapa yang dia pakai. City car, yang dibawanya ini, adalah mobil sewaan. Aku jadi cerita kalau Papa punya perusahaan rental mobil, tapi aku nggak menyebutkan namanya. Di Bandung, ada banyak usaha sejenis. Juna cerita tentang kerjaannya yang lama. Sebelum masuk IA, Juna adalah staf keuangan, bagian penerimaan, dan masih karyawan kontrak. Pantas saja, tadi dia bisa mengimbangi pekerjaan, saat aku benar-benar nggak fokus. Juna cerita pengalamannya pertama kali berhubungan sama sales. Di hari pertamanya, dia sudah mendapatkan cibiran, hanya karena dia karyawan baru. Para staf penjualan menginginkan bagian keuangan yang berpengalaman, untuk mengimbangi kapasitas mereka.
Aku salut sama Juna, yang berani ngomong, "Kalau semuanya diserahin ke senior, yang baru kapan bisanya?"Aku pernah beberapa kali berhadapan sama sales, dan berakhir dengan adu mulut. Apalagi sales perempuan. Nggak tahu apa yang ada di kepala mereka, sampai begitu ngototnya kalau berbicara dengan staf keuangan. Ini nih pertanyaan yang terus mengganjal. Apa nggak ada cara yang bisa dipakai untuk menyatukan staf penjualan dan keuangan? Seperti yang pernah aku bilang sebelumnya, penjualan dan keuangan beda divisi dan beda tujuan, tapi masih di bawah satu naungan, yaitu perusahaan yang sama. Bukankah seharusnya bersatu, bergandengan tangan, dan saling membantu? Apa mungkin ada kompetisi di antara mereka? Aku rasa hanya salah persepsi.
“Thanks, ya, Jun! Gue ngerasa lebih baik. Balik, yuk! Udah kemaleman, nih. Masih ada dua hari buat nyelesain tugas di sini.”
“Langsung ke hotel? Nggak mau mampir ke mana lagi gitu?”
Aku menggeleng.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Jalanan kota masih ramai, walau sudah malam, ciri khas kota besar. Juna mengajakku ke melewati jalan Riau, surganya factory outlet di Bandung. Messi akan mengajakku ke sini di hari terakhir rekon. Aku baru sadar kalau ponselku dari tadi tidak berbunyi. Ternyata baterai ponselku habis dan aku meninggalkan power bank di kamar. Kayaknya nggak akan ada masalah kalau aku nggak bisa terhubung beberapa jam ini.================================
Hari ini updatenya pagi menjelang siang. Nggak kayak kemarin. Hehehehe.
Makasih yaaa, udah nemenin Hana sampai part ini. Nggak terasa udah 3 minggu. Semoga apa yang disampaikan dalam cerita sejauh ini, bisa bermanfaat. Aamiin.
Mau biarin si Hana santai sebentar, sebelum dia bertemu... Jeng.. Jeng.. Jeng...!
Siyaaa next part
-San Hanna-
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVAUDIT
ChickLitSUDAH TERBIT - penerbit Cerita Kata "Jadi auditor itu nggak enak!" Kalimat itu sering dilontarkan keluarga dan sahabatku meski sudah sering kujelaskan bahwa menjadi auditor adalah panggilan hati. Temuan di kantor, kasus di rental, bahkan gosip aneh...