Di part ini, semua tokoh penting udah muncul. Yang senapsaran sama penampakannya, tunggu yaaaak.
Happy reading n enjoy!
-San Hanna-================================
Aku masih sedikit bingung, mengapa pemiliknya memilih lokasi ini. Bukankah akan lebih baik, jika tempat usahanya berada di depan jalan utama sebelum memasuki komplek?
"Kamu pasti temannya Annisa yang mau bantu saya membenahi pembukuan. Saya Erland Prayogo, panggil saja Erland."
Suara laki-laki barusan membuyarkan lamunanku. Dia menyodorkan tangan untuk menyalamiku. Seperti robot yang ditekan tombolnya, aku langsung bangkit, dan reflek menyalaminya.
Aku baru pertama kali merasakan perasaan aneh seperti ini. Tiba-tiba jantungku berdegup berkali-kali lipat. Tanganku seperti terkena sengatan listrik, saat kulitku bersentuhan dengan kulitnya. Genggaman tangannya kuat tapi bersahabat.Eh, tunggu! Apa tadi yang dia bilang? Mau bantu benahin pembukuannya? Kayaknya ada yang salah di sini. Aku mengatur ritme tarikan napas, agar bisa mengontrol detakan yang jedak-jeduk tak keruan sedari tadi.
"Di ruangan saja, ya! Biar ngobrolnya leluasa," ajaknya.
Aku belum mengiakan atau menolak, lelaki dengan brewok itu sudah membukakan pintu. Dia menunggu di ambangnya dan menyilakanku masuk.
Annisa! Di mana, lo? Bisa-bisa gue strok mendadak di sini, kalau berduaan doang sama dia, batinku.
Aku melewatinya saat memasuki ruangan. Aroma kopi yang enak dan menenangkan berkelebat. Tubuhnya tinggi, kira-kira 175cm, seperti Farish. Penampilannya rapi, berwibawa, dan nggak ngebosenin.
"Beruntung banget si Annisa setiap hari ketemu yang model begini. Nah, gue? Ketemunya sama yang sudah uzur. Sekalinya muda, modelnya kayak Juna. Dih, ngapain juga gue bisa inget si playboy cap Odong-odong?" gumamku.
"Jangan berdiri aja. Make your self comfort!" ucapnya.
Aku memilih duduk di kursi di depan meja kerja. Sesaat tadi, aku melihat Erland menarik bibirnya, sebelum dia mengambil tempat di belakang meja.
"Kamu mau minum apa? Kopi? Teh? Jus, soft drink, atau apa?"
Aku mau hot choco. Lirihku dalam hati. Nggak. Nggak. Nanti dia bakal anggap aku anak kecil. Kopi aja kali ya? Pikiranku bimbang."Kop...,"
"Hot Choco, Mas," sela Annisa dari ambang pintu.
Sontak aku menoleh ke arahnya dengan mendelik.
"Hot choco?" ulang Erland memastikan.
"Kopi aja, Pak." Aku menoleh ke Annisa yang berjalan mendekat, "Apa-apaan sih, lo? Emangnya di cafe?" bisikku setelah dia duduk bersebelahan denganku.
"Itu salah satunya kelebihan di sini. Minuman apapun ada. Mas Erland juga suka cokelat panas, " ujar Annisa tanpa menghiraukan isyaratku, agar dia bicara pelan.
Lelaki di depanku tersenyum. Dia meraih gagang telepon, menekan kombinasi angka, lalu menyebutkan pesanan, "Minuman biasa, dua ya!" kemudian meletakkan lagi ke tempatnya semula.
"Well, Mbak Hana, saya kira Annisa sudah banyak bercerita tentang kondisi perusahaan ini. Jadi, apa pendapatmu tentang hal itu?" tanya Erland tanpa basa-basi.
Aku memandangnya sebentar, bukan untuk menikmati wajahnya yang ditumbuhi bulu di beberapa tempat, tapi sedang berusaha membaca apa diinginkannya. Aku nggak ada bakat cenayang sama sekali, tapi berkat pengalamanku selama beberapa tahun belakangan, aku terbiasa melakukan hal itu. Persentase keberhasilanku sudah sembilan puluh persen. Sekarang aku memandang Annisa. Sialnya, dia malah melengos.
"Mohon maaf sebelumnya, Pak Erland,"
"Panggil saja Erland. Kalau kamu kurang nyaman, boleh panggil Mas, seperti Annisa dan beberapa staf di sini," selanya.
"Baik. Kalau begitu, panggil saya Hana saja." Dia mengangguk. "Seperti yang pernah saya bilang ke Annisa, saya nggak bisa mencampuri urusan perusahaan ini begitu saja,"
"Saya mengerti. Kita bicarakan secara profesional. Saya bersedia membayar jasa kamu sebagai auditor." Lagi-lagi dia menyela omonganku.
"Bukan. Bukan itu maksudnya. Untuk menilai kewajaran sebuah laporan keuangan, nggak bisa cuma bermodalkan katanya. Butuh lebih banyak dari itu, seperti data-data pendukung yang konkret dan bisa dipertanggungjawabkan," jelasku.
Erland menggangguk. "Jadi?" Dia menunggu sambil memandang lurus ke mataku.
Aku mengendus ada jebakan dalam pertanyaannya. Aku sudah bilang pada Annisa, aku hanya akan melihatnya secara global, tanpa campur tangan sedikitpun.
================================
Hari ini maraton 2 part. Seperti yang aku infokan awal, lovaudit bakal fast update (In syaa Allah, setiap hari), tapi kalau nggak memungkinkan, ya dirapel. Hahahaha
Sesuai janjiku di awal, aku mau kasih liat para tokoh di part ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVAUDIT
Chick-LitSUDAH TERBIT - penerbit Cerita Kata "Jadi auditor itu nggak enak!" Kalimat itu sering dilontarkan keluarga dan sahabatku meski sudah sering kujelaskan bahwa menjadi auditor adalah panggilan hati. Temuan di kantor, kasus di rental, bahkan gosip aneh...