“Kali ini saya percaya sama kalian. Anggap masalah ini selesai. Ingat! Saya paling nggak suka peringatan saya diabaikan,” ucap Bu Iyem dari bagian dalam kamarnya. Aku dan Juna mengaangguk berbarengan, “kalian langsung balik ke kamar masing-masing. Lupakan yang terjadi hari ini, konsentrasi untuk besok. Jangan sampai target tidak selesai. Mengerti?” Bu Iyem memandangku dan Juna bergiliran dengan sorot mata yang tajam.
“Mengerti, Bu,” ucapku dan Juna nyaris bersamaan.
Bu Iyem mengangguk sebelum menutup pintu kamarnya. Sepuluh detik pertama aku seperti orang bodoh, dengan terus memandang pintu dengan nomor 517 yang tertutup.
“Udah malam. Balik, yuk!” ajak Juna.
“Hah?”
Juna yang sudah menjauh tiga langkah dari pintu, kembali lagi untuk menghampiriku yang masih mematung. Dia ingin menarik tanganku, tapi kutepis. “Jangan cari perkara lagi deh!”
“Emang kita ngapain? Kan nggak ngapa-ngapain? Memang kamu mau di sini terus semalaman?”
Aku mengernyit. “Sejak kapan pakai aku-kamu?”
Juna memandangku tepat di mata, tapi kenapa jantungku yang bereaksi.“Salah dengar kali. Lo lagi konslet, ya? Gara-gara ditegur Bu Iyem? Ya udah kalau masih mau di sini, aku duluan.”
“Tuh, kan, aku lagi,” pekikku bersemangat, seperti berhasil mendapatkan temuan audit.
“Korek tuh, kuping. Ge-er, aja!” sahut Juna sambil mendorong keningku dengan telunjuknya.***
Ada apa dengan kota ini? Baru beberapa hari di sini, duniaku sudah jungkir balik. Semalam, kukira akan mengalami insomnia lagi, nyatanya nggak. Rasanya tidak pernah tidur lelap seperti itu. Hari ini tubuhku rasanya bersemangat sekali. Begitupun hatiku. Kok pipiku terasa hangat, ya? Tiba-tiba batinku bersuara. Tanganku reflek menyentuh pipi dengan kedua tangan.
“HEI!” pekik Messi sambil menepuk bahuku. “Aneh banget deh lo dari semalem. Ada apaan sih? Kayaknya ada benih-benih yang tumbuh dalam semalam nih,” imbuh Messi sembari menyipitkan matanya.
Aku nggak bisa melihat raut wajahku saat ini, tapi aku bisa merasakan kulitku semakin panas. Bukannya menjawab pertanyaan Messi, aku malah tersenyum dan menawarinya sepotong sosis sapi yang menancap di garpu. Messi menggeleng, dia menggeser kursi untuk duduk bersebelahan denganku.
“Napa wo, mep ... pet...,” ucapku sembari mengunyah potongan besar sosis.
“Telan dulu tuh sosis! Nyangkut di leher tahu rasa, lo!”
Bukannya melakukan apa yang diucapkan Messi, aku malah terbahak. Alhasil, sepotong sosis tersangkut di tenggorokaanku. Messi yang semula menertawakan wajahku, sekarang jadi panik. Apalagi saat aku terus memegangi leher. Mataku mulai berair, tapi aku tidak bisa mengeluarkan suara. Napasku mulai tersenggal.
Aku merasakan ada tangan yang terselip di antara lenganku. Tangan itu mengangkat tubuhku. Dalam kondisi ini, aku tidak bisa menolak apapun yang dilakukan orang yang ada di belakangku. Satu tangannya melingkar di uluhatiku, tangan lainnya menyondongkan tubuhku ke depan, lalu menepuk punggungku berulang kali. Rasanya ada yang mendesak keluar dari tenggorokanku, tapi pergerakkan berhenti. Sekarang aku tidak bisa bernapas sama sekali. Ruangan tempatku berasa, seperti berputar.
Dalam kondisi antara sadar dan tidak, ada yang memelukku dari belakang. Perutku di tekan kuat sekali. Dua kali, tiga kali, entah sudah berapa kali, hingga akhirnya sepotong sosis berukuran besar melompat keluar dari mulutku. Air mataku mengalir begitu saja. Aku terbatuk beberapa kali sebelum napasku kembali normal. Messi menyodorkan gelas yang berisi air putih.
Napasku sudah teratur dan pandanganku kembali jelas. Aku melihat sekeliling dan orang-orang menggerumuti mejaku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. Kepalaku diusap dengan lembut. Aku mendongak. Wajah Juna sedang tersenyum lega, yang ditangkap mataku.
“Feel better?” tanyanya.
Aku mengerjap beberapa kali. Mungkin mataku salah merefleksikan apa yang dilihatnya, akibat insiden tadi. Tapi tidak ada yang salah, itu memang Juna. Aku hanya menarik bibir sebagai jawaban.
“Thanks, banget, Jun! kalau nggak ada lo tadi, nggak tahu deh gimana jadinya,” ucap Messi tulus, “lo juga! Kan sudah gue bilangin, jangan ngomong dengan mulut penuh! Kapok nggak?”================================
LUNAS, YAAAA!!
capslocknya sampe jebol. Part 24 besok aja yaaaak. Enakan update siang, sore, atau malam, ya?? 🤔🤔🤔
Seneng deh, bisa terus nulis ceritanya Hana. Kalau masih datar-datar aja, maklumi, ya. Authornya masih dalam penataran untuk jadi kezam.
Terima kasih, yaaa! Sudah menemani Hana sejauh ini. Jumpa lagi next part.
-San Hanna-
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVAUDIT
ChickLitSUDAH TERBIT - penerbit Cerita Kata "Jadi auditor itu nggak enak!" Kalimat itu sering dilontarkan keluarga dan sahabatku meski sudah sering kujelaskan bahwa menjadi auditor adalah panggilan hati. Temuan di kantor, kasus di rental, bahkan gosip aneh...