15

4.2K 591 75
                                    

(Namakamu) kini berada di mobil Iqbaal. Jadwalnya bersama Iqbaal sudah selesai dalam minggu lalu, kini jadwal Salsha yang bersama Iqbaal.

(Namakamu) merasakan Iqbaal sejak semalam sudah kembali seperti dulu, tidak ada marah-marah hanya possesif yang melekat disifatnya. Mungkin sudah dari sananya seperti itu.

Pagar rumah mertuanya sudah terbuka, dan Iqbaal mulai menyetir mobilnya memasuki pekarang rumah mertuanya yang luas itu.

"Jangan lupa makan dan istirahat. Selama beberapa hari ke depan, abang akan terus kontrol keadaan kamu, jadi abang akan sering mengunjungi kamu di sini," ucap Iqbaal dengan mobil yang ia parkirkan di luar garasi.

"Nggak perlu di kontrol, aku juga udah besar. Aku bisa mengurus diri sendiri, lebih baik pergunakan waktu untuk Salsha, karena dia butuh kamu juga," balas (Namakamu) yang kini membuka sabuk pengamannya.

Iqbaal yang melihat (Namakamu) hendak turun dari mobil, membuatnya segera menangkap tangan mungil itu. (Namakamu) pun menghentikan niatnya yang hendak turun itu, dan menatap Iqbaal.

"Kenapa?" tanya (Namakamu) dengan kernyitan halus di dahinya.

Iqbaal menatap (Namakamu) dengan tatapannya yang dalam, ia mengeratkan genggamannya dengan (Namakamu). "Tidak ada kata pamit dari kamu? Aku akan merindukanmu setiap malamku, untuk sekarang dan sampai kita bertemu kembali. Tidak mau berpamitan dengan suami kamu ini, (Namakamu)?" tanya Iqbaal dengan suara beratnya yang dalam.

(Namakamu) menggigit bibir bawahnya dengan pelan, dan Iqbaal masih menunggu. "Jangan lupa istirahat," ucap (Namakamu) dengan pelan.

Iqbaal memberikan senyumannya saat mendengar ucapan itu,"aku akan menunggu hari kita berjumpa nanti."

(Namakamu) menghela napasnya pelan, lalu dengan lembut ia mengecup pipi Iqbaal. Iqbaal terkejut sekaligus mematung. (Namakamu) tersenyum manis untuk pertama kalinya di saat situasi ini.

"Aku turun dulu, biar aku panggil Salsha." Pamit (Namakamu) dengan senyumannya.

Tetapi Iqbaal lebih dahulu kembali menarik (Namakamu), dan membawanya ke dalam ciuman bibirnya. Sejak tadi, ia merindukan sentuhan istrinya ini. (Namakamu) sedikit terkejut saat Iqbaal lebih dalam menciumnya di dalam mobil ini. Ia merasakan Iqbaal menginginkannya setiap saat.

Iqbaal memiringkan kepalanya agar dapat memperdalam ciumannya yang kini menggebu-gebu, bahkan kedua tangannya mendekatkan (Namakamu) dengan dirinya. (Namakamu) melingkarkan kedua tangannya ke leher Iqbaal. Ia mencoba untuk melepaskan ciuman ini. Napasnya sudah hampir habis.

Iqbaal mencoba mencium kembali, tetapi (Namakamu) kembali menjauh. Napas Iqbaal terengah-engah, ia menatap bibir istrinya kini memerah.

"Kenapa?" tanya Iqbaal dengan suaranya yang sedikit serak.

(Namakamu) melepaskan tangannya dari lingkar leher Iqbaal,"sudah waktunya pergi," jawab (Namakamu) dengan pelan.

Iqbaal membasahi bibir bawahnya, lalu mengecup sekilas bibir itu dengan lembut. "Besok, aku datang untuk mengunjungi kamu. Jangan lupa untuk istirahat, dan makan." Kembali Iqbaal mengingatkan itu.

(Namakamu) menganggukkan kepalanya, lalu ia pun turun dari mobil. Iqbaal yang berada di dalam mobil seketika menyandarkan kepalanya di bangku mobilnya, ia merasa hawa panas dari tubuh. Ia bahkan menatap (Namakamu) yang berjalan memasuki rumah itu.

Iqbaal menelan ludahnya dengan pelan, ia harus bisa menetralkan rasa panas pada tubuhnya.

**

(Namakamu) akhirnya dapat menyelesaikan ritual mandi paginya, ia terlihat segar dengan handuk yang masih melingkar di tubuh mungilnya. (Namakamu) mulai mengambil body lotion untuk memulai perawatan kulitnya.

Di saat ia hendak mengoles body lotion tersebut, bunyi panggilan dari ponselnya pun membuatnya terhenti. Ia pun segera mengambil ponselnya dan mulai menjawab panggilan tersebut.

"Ya, Andi," sahut (Namakamu) dengan lembut.

(Namakamu) mengaktifkan loudspeaker ponselnya, lalu meletakkan di atas meja rias. Ia memulai memakai body lotion-nya.

"Kapan ibu bisa mengunjungi galeri, Bu?"

(Namakamu) pun dengan tenang mengoleskannya dengan rapi, "hari ini atau mungkin Selasa besok. Saya akan ke sana."

"Baik, Bu. Saya selalu menunggu, Bu."

(Namakamu) tersenyum, lalu mematikan panggilan itu.

Dan di saat dirinya tengah memakasi body lotion, pintu kamar terbuka tanpa diketuk. (Namakamu) melihat dari cermin rias, Iqbaal dan baju kerjanya yang lengkap datang memasuki kamar ini.

Iqbaal menutup pintu kamar itu, dan melihat istrinya tengah memakai body lotion. "Kamu teleponan sama siapa tadi?" tanya Iqbaal yang kini melonggarkan dasinya, ia duduk di tepi ranjang kamar tidurnya ini.

"Sama Andi," jawab (Namakamu) dengan tenang.

Iqbaal menggertakkan sedikit rahangnya, "siapa Andi? Selingkuhan kamu?! Iya?" tanya Iqbaal dengan tatapan tajamnya.

(Namakamu) berdecak kecil, ia menatap Iqbaal yang menatapnya tajam. "Dia karyawan aku, Baal. Dia butuh aku untuk memeriksa hasil penyusunan lukisan-lukisan itu. Aku hari ini mau ke sana, sekalian minta izin untuk pulang malam." (Namakamu) menjelaskannya dengan tatapannya ke arah Iqbaal.

Iqbaal menatap (Namakamu) yang masih dibalutin oleh handuk itu dengan tatapan dalamnya. "Setiap kamu pergi, kamu harus bersamaku. Aku akan temani kamu mengecek hasil apapun itu."

"Astaga! Aku nggak akan lar—"

"Ikutin atau tidak sama sekali!" Iqbaal memotongnya dengan cepat.

"Terus kerjaan kamu gimana? Masa kamu harus tinggalkan mahasiswa kamu yang—"

"Ada pengganti."

(Namakamu) melihat Iqbaal kini berdiri, dan mendekat ke arahnya.

"Ini mau ngapain? Jangan dekat-dekat! Aku mau pakai baju. Sana keluar!" usir (Namakamu) yang sedikit mendorong Iqbaal agar memberi jarak.

Iqbaal dengan lembutnya membawa tangan (Namakamu) ke dalam genggamannya, "abang kemarin nggak bisa tidur, kalau bukan kamu yang di sana. Abang mau coba telepon kamu, tapi abang takut mengganggu istirahat kamu. Kamu tidur nyenyak, kan?" ucap Iqbaal dengan suara beratnya yang sedikit pelan.

(Namakamu) menggelengkan kepalanya pelan, "jangan sekali-kali menelpon jika ada Salsha."

Dan Iqbaal dengan sedikit tidak terima, melepaskan genggaman itu, dan mulai kembali mengambil posisi di ranjangnya.

(Namakamu) melihat Iqbaal berubah dari yang dekat kini menjauh.

"Kapan kamu bisa memprioritaskan abang? Salsha.. Salsha.. dan Salsha. Kapan, Abang ?" tanya Iqbaal dengan kesal.

(Namakamu) tidak menjawabnya, ia mengambil bajunya di lemari.

Iqbaal kembali diacuhkan, ia ke sini untuk melampiaskan rasa rindunya, tetapi yang ada dia tidak dipedulikan.

"Abang sudah makan?" (Namakamu) mengeluarkan suaranya sembari memakai bajunya.

Iqbaal tidak menjawab, tetapi tangannya mengganti siaran tv itu dengan kasar dan wajahnya yang dingin.

(Namakamu) melirik Iqbaal yang sama sekali tidak memperdulikannya. Ia pun telah selesai memakai bajunya, kini ia menghampiri Iqbaal yang ada di ranjang. (Namakamu) mengusap lengan Iqbaal yang memiliki otot yang pas, Iqbaal diam.

"Mau sarapan dulu atau tidur?" tanya (Namakamu) dengan lembut.

Iqbaal meletakkan remot tv itu sembarangan, kini dia menatap istrinya dengan tajam. "Kapan kamu bisa mengutamakan aku? Salsha selalu mengutamakan kepentingan aku, dan kamu kapan? Apa tunggu aku sakit baru kamu mau mengutamakan aku, begitu?" Iqbaal marah.

"Abang sudah menyalahi peraturan, ini bukan—"

"Persetan dengan aturan ini! Kalau aku maunya kamu, kamu harus nurut! Aku suami kamu!"

**

Bersambung

P.s : Komentar minimal 39

Sudah ada jadwalnya ye

ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang