21

2.2K 306 18
                                    

"(Namakamu), lo tahu, nggak? Kalau di dunia ini untuk sedetik ke depan takdir lo berubah."

(Namakamu) yang mendengar Gita yang tengah duduk di sisinya pun sedikit meliriknya. "Ya kali, waktu sedetik doang bisa ngerubah takdir. Sok tahu, lo!" ucap (Namakamu) dengan tidak percaya.

Ia dan Gita tengah menunggu kedatangan dosen selanjutnya, kelasnya akan dimulai 30 menit lagi, tapi berhubung ia malas untuk berlari-lari mengejar kelas, ia pun hanya duduk di dalam kelas.

Gita bersedekap dada sembari berdecak kecil, "lo jangan ngeremehin perkataan gue, (Namakamu). Semesta bakalan kasih bukti ke lo, kalau waktu seperkian detik dapat ngerubah takdir kita."

Gita menepuk tangan (Namakamu), (Namakamu) memekik kecil, ia terkejut. "Apa sih, Git?! Kaget!"

"Bisa aja di masa yang akan datang, lo jadi istrinya pak Iqbaal. Karena tindakan lo tadi bertemu dia minta pergantian jadwal. Bisa aja di—" ucapan Gita terpotong dengan tangan (Namakamu) memasukkan makanan ke mulut Gita.

"Diam. Lo udah di bangku kuliah, jangan ngomong yang nggak masuk akal. Udah deh, gue mau tidur dulu. Kalau dosennya udah datang, bangunin gue," ucap (Namakamu) sembari mengatur posisinya untuk tidur di bangku kuliahnya.

Gita hanya mengunyah makanannya dengan kesal saat temannya tidak percaya omongannya. Berhubung mata kuliah belum dimulai, ac di dalam kelasnya belum dihidupkan, jadi pintu kelasnya tidak tertutup, ia bisa melihat orang-orang berlalu lalang melewati kelas mereka.

Dan, seketika Gita tersenyum sopan menyapa siapa yang baru saja ia lihat lewat di depan kelasnya. "Pak," sapa Gita sembari berdiri dari duduknya.

"Ada kelas?"

"Iya, Pak." Gita jawab dengan canggung.

"Ya sudah, saya masuk ke kelas dulu."

Gita melihat tatapan dosennya mengarah kepada (Namakamu), sebentar, tetapi senyumnya tidak tersembunyikan saat tatapan itu mengarah kepada (Namakamu). Gita mengetahui itu, ada sebuah ketertarikan dari pak Iqbaal, dosennya.

"Baru gue bilang, dan dia nggak percaya."

**

(Namakamu) menghembuskan napasnya dengan kesal, ia melihat handuk lembab itu di letakkan di atas tempat tidur.

"Bang Iqbaal! Kalau selesai mandi itu, harusnya diletakkan lagi dong ketempatnya! Nanti tempat tidurnya basah! Gimana?" teriak (Namakamu) dari kamar tidurnya.

Iqbaal yang berada di luar kamar segera masuk ke kamar tidurnya. "Apa? Ada apa?" tanya Iqbaal dengan sigap.

(Namakamu) yang melihat Iqbaal terlihat seperti orang mau menangkap maling, ia berdiri di depan pintu. "Itu, handuknya! Jangan taruh sembarangan!" ucap (Namakamu) dengan kesal.

Ia bahkan sampai menghentakkan kakinya seperti anak kecil. Iqbaal menghela napasnya pelan, ia kira telah terjadi sesuatu. Iqbaal pun segera mengambil handuknya,

"Itu juga bisa bikin penyakit kalau nggak dijemur baik-baik, nanti semua keluarga sakit. Terus? Seprainya harus diganti! Abang tahu nggak sih kalau seprai ini besar dari badan aku. Mana tempat ngambil seprainya tinggi lagi. Aku tuh capek, aku mau istirahat. Kenapa nggak ada yang ngerti, sih?" dan (Namakamu) seketika menangis saat ia mulai berbicara panjang lebar.

Iqbaal yang melihat istrinya menangis seketika mendekatinya, ia segera membawa (Namakamu) ke dalam dekapannya. "Abang minta maaf, sayang. Udah, ya.. jangan nangis. A-abang salah, abang nggak akan ulang. Jangan nangis lagi, ya. Abang yang akan ganti seprainya. Kamu duduk aja di sofa, oke? Udah.. jangan nangis," ucap Iqbaal menenangkan dengan suara beratnya. Ia mengusap rambut (Namakamu) dengan sayangnya.

(Namakamu) terisak, ia menangis seperti anak kecil sampai segugukan. Iqbaal mendekapnya dengan sayang, dan hangat. "Maafin, Abang."

(Namakamu) hanya dapat menangis di dalam pelukan Iqbaal.

**

Iqbaal baru saja selesai mengganti seprai kamarnya, ia juga membersihkan kamar tidur itu. Jadi memerlukan waktu yang lama, ia tampak puas dengan hasil kerjanya. Iqbaal membalikkan badannya untuk melihat istrinya, dan (Namakamu) sudah tertidur di sofa dalam kamarnya.

Ia terlihat lelap setelah menangis tadi, Iqbaal yang tidak jauh dari sofa itu segera merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan (Namakamu). Banyak rambut-rambut menempel di pipi (Namakamu), akibat menangis tadi, ia berkeringat dan membuat (Namakamu) sedikit berantakan.

Iqbaal merapikan rambut itu. Ia begitu mencintai wanita di hadapannya ini. "Maafin abang, ya? Abang buat kamu sampai nangis seperti ini," bisik Iqbaal dengan lembut.

Ia dengan perlahan membawa (Namakamu) ke dalam gendongannya, ia tidak ingin (Namakamu) seluruh tubuhnya sakit karena tertidur di sofa. Iqbaal meletakkannya dengan lembut ke atas tempat tidur mereka.

(Namakamu) sedikit bergerak membuat Iqbaal dengan lembut mengusap pipi (Namakamu), ia membuat (Namakamu) agar tertidur lagi. Dan iya, dia tertidur lelap lagi. Iqbaal menyelimutinya, mengatur suhu kamar tidurnya agar (Namakamu) tidur dengan nyaman.

Ia melihat kembali istrinya sudah tertidur dengan nyenyak, Iqbaal melihat jam di pergelangan tangannya, seharusnya ia sudah kembali ke rumah Mama. Iqbaal segera merasakan getaran ponselnya, pasti Salsha.

Iqbaal pun segera menjawab panggilan itu.

"Iya, Sal?" sahut Iqbaal dengan suara beratnya.

"Kamu di mana? Kok belum sampai?" tanya Salsha di ujung sana.

Iqbaal melihat (Namakamu), "saya harus bermalam di sini. Saya takut (Namakamu) sakit," ucap Iqbaal dengan suara beratnya. Tatapannya tidak berpaling dari (Namakamu).

"Kenapa dengan (Namakamu)? Ada masalah?" tanya Salsha dengan suaranya yang mulai berubah.

"Tadi ada sedikit masalah, dan sudah selesai."

"Ya, kalau begitu, kamu bisa ke sini dong, Baal? Aku juga istri kamu, ini sudah jadwal seharusnya." Suara Salsha terdengar lebih tegas di ujung sana.

Iqbaal diam sebentar, ia menatap (Namakamu) lalu menghela napasnya pelan. "Baik, saya akan ke sana. Saya tutup." Dan panggilan itu ia matikan. Iqbaal menghela napasnya kembali, ia sebenarnya tidak mau meninggalkan (Namakamu), tetapi Salsha juga berhak menanti kehadirannya.

Iqbaal mengusap pipi (Namakamu) lembut. "Abang pergi dulu, ya. Mimpi indah," bisik Iqbaal dengan suara beratnya lalu ia mengecup dahi, pipi, dan bibir (Namakamu).

Iqbaal pun meninggalkan (Namakamu).

**

Bersambung

ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang