24

2K 320 63
                                    

Salsha sedang merapikan baju-bajunya dan Iqbaal, walaupun pembantu di rumah ini sudah memiliki perkerjaan khususnya, Salsha akan tetap melakukannya sendiri dalam hal mengurus Iqbaal dan segala macam.

Ia melipat-lipatnya sembari menonton tv di kamar tidurnya bersama Iqbaal. Salsha tersenyum saat acara kesukaannya membuat sebuah lelucon. Di saat ia tengah melakukan kegiatannya, pintu kamarnya terbuka.

Salsha sedikit terkejut melihat mertuanya datang dengan pakaiannya yang cantik. "Mama," sapa Salsha dengan sopan.

Perempuan paruh baya itu bersedekap dada sembari menatap Salsha. "Ada yang mau saya bicarakan ke kamu, Sal, dan itu hanya untuk kita berdua," ucap Mama dengan tatapan tajamnya ke Salsha.

Salsha berdiri dari duduknya, dan menganggukkan kepalanya. "Tentang apa, Ma?" tanya Salsha dengan sopan.

"Tentang pernikahan kamu dan Iqbaal," jawab Mama dengan senyuman singkatnya.

Salsha yang mendengar itu pun terdiam. Perempuan paruh baya itu menatap Salsha dengan senyumannya.

"Sudah tersiar kabar di luar sana kalau Iqbaal memiliki dua istri. Banyak opini masyarakat mengatakan bahwa kamu mengizinkan Iqbaal nikah karena tidak bisa melahirkan keturunan. Wah.. masyarakat begitu jeli ternyata, dan opini mereka selalu sesuai fakta yang ada." Mama menatap Salsha yang mulai sedikit menundukkan kepalanya, "kamu tahu kan, Sal? Kalau ini bisa berdampak pada perusahaan-perusahaan Iqbaal yang lainnya, kan? Apalagi tempat kampusnya sekarang. Itu nggak bagus dengan adanya berita seperti itu."

Salsha mengepalkan tangannya dengan pelan, ia mencoba menatap mertuanya dengan airmata yang ia tahan. "Iya, Ma, aku tahu itu," jawab Salsha dengan pelan.

Mama Iqbaal menghela napasnya dengan santai, "dan Mama punya solusi untuk itu semua. Kamu mau tahu?" ucap Mama Iqbaal dengan tenang.

Salsha menatap mata Mama Iqbaal dengan kesedihannya.

"Harus ada yang cerai di antara kalian. Entah itu (Namakamu) atau—"

"Tapi, Ma.. sesuai perjanjian—"

"Berarti kamu yang harus diceraikan oleh Iqbaal. Perjanjian memang perjanjian, tapi saya rasa kalau (Namakamu) bisa hamil, lebih baik dia kan jadi istri seutuhnya Iqbaal? Iya, kan?" balas Mama Iqbaal dengan penuh ketenangan.

Salsha menggigit bibir bawahnya sembari menahan sesak di dadanya, ia ingin menangis sekarang juga.

"Salsha, kalau kamu sayang dengan suami kamu, kamu harusnya bisa ambil keputusan yang terbaik." Mama Iqbaal memandang Salsha dari ujung kepala sampai ujung kakinya, "seandainya kamu bisa nggak mandul, mungkin saya bisa perjuangkan kamu menjadi istri Iqbaal yang seutuhnya. Tapi.. sepertinya (Namakamu) memang layak."

Salsha menggelengkan kepalanya dengan airmatanya yang sudah jatuh, ia merasakan bom jatuh dari langit dan menghancurkan keseluruhannya. "Ak-aku cinta sama Iqbaal, Ma. Ja-jangan paksa aku untuk tinggalkan dia, Ma.. ak-aku mohon...," isak Salsha dengan suaranya bergetar.

Mama Iqbaal menyunggingkan senyumannya. "Kamu mau saya perjuangi, Salsha?" tanya Mama Iqbaal dengan lembut.

Salsha mengangkat kepalanya dengan cepat, ia menanganggukkan kepalanya sembari menghapus airmatanya. "Iya, Ma.. ak-aku cinta sama—"

"Singkirkan (Namakamu) dari keluarga ini. Karena kamu yang membawanya ke sini, kamu juga yang harus menyingkirkannya dari sini. Ngerti? Maka kamu akan tetap di sini menjadi istri satu-satunya. Saya muak dengan keberadaan dia, saya ingin dia pergi dari keluarga ini! Kamu ngerti itu, Salsha?" potong mama Iqbaal dengan cepat.

Salsha mematung dan membiarkan mertuanya pergi meninggalkan kamar tidurnya. Salsha tidak sanggup lagi berdiri, ia terjatuh ke lantai kamarnya.

'Apakah perempuan seperti aku ini, masih bisa memiliki asa?'

ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang