22

2.2K 338 53
                                    

(Namakamu) melihat jam di pergelangan tangannya, dan matahari mulai terbenam. Ia masih di area kampusnya, karena ada yang perlu ia persiapkan untuk presentasi besok. Dan ini sudah biasa baginya sebagai mahasiswa seni. Ia akan pulang dengan bus.

(Namakamu) duduk tenang di sebuah halte tempat pemberhentian bus. Gelap sudah menyelimuti sekitarnya, dan kini hanya lampu halte sebagai penerangannya. Ramai lalu lintas membuat itu sebagai hiburan menunggu kedatangan bus.

Tak lama kemudian gemuruh mulai terdengar, angin mulai sedikit kencang, dan titik-titik air mulai turun hingga kencang. (Namakamu) menghela napasnya pelan, ia sudah menduga hari ini akan turun hujan.

"Ck.. harusnya gue bawa payung," gumam (Namakamu) dengan sedikit menyesal. Ia mulai melindungi dinginnya hujan dengan kardigan yang ia pakai sekarang. Orang-orang telah berlari mencari perlindungan, bahkan sudah beberapa yang berlindung di halte.

"Bus jam berapa sih datangnya?" tanya (Namakamu) kepada dirinya sendiri, ia juga melihat kembali jam di pergelangan tangannya.

Hujan semakin lebat, angin semakin kencang, dan bulir-bulir air hujan pun mulai mengenai kardigannya.

(Namakamu) merapatkan kardigannya, mulai dingin menembus kardigannya.

"Akhirnya.."

(Namakamu) mendengar suara berat dari sampingnya, ia melirik dan sedikit terkejut saat melihat dosennya, Iqbaal, tengah berdiri di sampingnya sembari mengacak rambutnya yang terkena hujan.

"Pak Iqbaal," ucap (Namakamu) sedikit terkejut.

Iqbaal yang baru saja sampai di halte pun menatap (Namakamu) yang tengah duduk di halte. "Jangan panggil bapak, kalau bukan di dalam kelas," balas Iqbaal yang kini sibuk mengacak rambutnya.

(Namakamu) pun sedikit tergugup mendengar itu, ia pun terdiam sebentar. Iqbaal melihat hujan semakin lebat. "Untung cepat-cepat lari, kalau enggak, mungkin udah mandi hujan," gumam Iqbaal kepada dirinya sendiri.

(Namakamu) melihat penampilan dosennya ini, terlihat baru selesai bertugas dari kelas. Kemeja putihnya yang sudah sedikit basah, jam hitam kulit di pergelangan tangannya, celana kain hitam, dan sepatu pantofelnya.

"Kamu nggak nawari saya untuk duduk?" sindir Iqbaal dengan suara beratnya.

(Namakamu) seketika sadar, dan mulai berdiri. "Ma-af.. p-ak.. hhm maksudnya silahkan duduk," ucap (Namakamu) tergagap.

Iqbala tersenyum dengan dua lesung pipitnya yang terlihat. "Nggak, saya bercanda. Duduk saja," balas Iqbaal dengan suara beratnya.

(Namakamu) menggelengkan kepalanya, "nggak, bapak saja."

Senyum Iqbaal seketika luntur saat mendengar panggilan (Namakamu) terhadap dirinya. "Panggil abang Iqbaal. Saya bukan bapak kamu," balas Iqbaal dengan tatapannya ke arah (Namakamu).

"Tapi kan—"

"Mau nilai E?"

"Oke, Bang." (Namakamu) seketika menyebutkan panggilan itu. Iqbaal puas mendengarnya.

"Duduk sini, Bang. Bus saya juga bentar lagi datang," tawar (Namakamu) dengan sopan.

Iqbaal melihat jam di pergelangan tangannya, ia pun mengernyitkan dahinya. "Emang ada ya jam segini bus beroperasi? Baru tau," ucap Iqbaal dengan tatapannya mengarah ke (Namakamu).

"Ya, saya tunggu dulu. Nanti kalau datangnya taksi, saya akan naik taksi, pa..hm maksudnya, Bang," balas (Namakamu) dengan sopan.

"Mending saya yang antar kamu pulang, mau?" tawar Iqbaal sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.

(Namakamu) mengernyitkan dahinya, "pakai taksi?"

Iqbaal tertawa kecil,"kerja sampingan saya bukan supir taksi, (Namakamu)."

"Bang Iqbaal bawa mobil?" tanya (Namakamu) bingung.

Iqbaal menganggukkan kepalanya, "tuh, mobil saya nggak jauh dari halte," ucap Iqbaal sembari menunjukkan mobil mewahnya di sana.

"Lah? Kok di sini? Kan bapak..hm maksudnya abang bawa mobil. Emang atap mobilnya bocor?" tanya (Namakamu) dengan polosnya.

"Bukan bocor, tapi lagi pengen aja neduh di halte. Emang nggak boleh?"

(Namakamu) semakin tidak mengerti dengan dosennya ini. Ia kira, Iqbaal tidak membawa kendaraan makanya berteduh di sini sembari menunggu transpotasi umum datang.

"Nggak usah, Bang. Saya tunggu taksi saja," tolak (Namakamu) dengan sopan.

Iqbaal mengernyitkan dahinya tidak suka," seharusnya kamu terima, karena saya rela lari-lari ke sini hanya untuk bawa kamu ke mobil saya. Saya nunggu kamu dari tadi, padahal jam tugas saya sudah selesai. Ayo! Saya memaksa!" Dan dalam sekejap Iqbaal menggenggam tangan (Namakamu) dengan lembut, lalu menariknya mendekat ke arahnya, ia melindungi (Namakamu) dari hujan dengan tangan satunya lagi, dan mengajaknya ke mobil mewahnya itu.

(Namakamu) yang tidak sempat untuk terkejut pun, sudah ikut berlari dengan Iqbaal.

**

(Namakamu) membuka kedua matanya dengan kesendiriannya. Ia melihat kamar luas ini sudah sepi, tidak ada lagi pria itu di sini. Ia menghela napasnya, dan mulai membangunkan dirinya, ia melihat sekitar kamar tidurnya yang luas itu dengan perasaan sedihnya.

"Kenapa gue sesedih ini, sih? Biasanya juga nggak kaya gini, mana dada gue sesek lagi," gumam (Namakamu) yang seperti hendak mau menangis lagi.

Padahal baru bangun tidur, dan pagi yang sejuk menyambut dirinya. "Kok gue kesal, sih?" ucap (Namakamu) kepada dirinya sendiri.

(Namakamu) pun mengambil ponselnya yang sejak semalam tidak ia buka akibat tangisannya. Ia melihat notifikasi yang sudah memenuhi layar ponselnya. (Namakamu) menghela napasnya dengan pelan, ia berharap sekali ada pesan..

Dan (Namakamu) membolakan kedua matanya saat layar ponselnya memunculkan panggilan telepon dari suaminya, Iqbaal. (Namakamu) pun segera mengangkat panggilan itu.

"Ya, halo," sapa (Namakamu) dengan suara serak bangun tidurnya.

"Maaf, abang pergi. Salsha nunggu abang, karena itu jadwalnya. Kamu sudah makan?" tanya Iqbaal di ujung sana.

(Namakamu) seperti hendak menangis saat mendengar Iqbaal pergi untuk ke rumah Mama. "Ngapain nelpon?! Ha?! Mending urusin aja Salsha! Kan jadwalnya Salsha, bukan aku!" balas (Namakamu) dengan kesal.

"Abang kan—"

"Nggak usah abang-abang!" potong (Namakamu) dengan airmatanya yang mulai jatuh.

Iqbaal diam.

"Mana terkejut pagi-pagi udah sendirian aja, dikira enak apa sendirian terus di sini?! Pergi juga nggak bilang-bilang," lanjut (Namakamu) dengan suaranya yang sudah sedikit terisak.

"Kamu nangis?"

"Nggak! Aku lagi ketawa!"

Terdengar suara Iqbaal yang sedikit tertawa.

"Malah ketawa! Nggak usah—"

"Nanti siang abang ke sana, kamu mau apa?" balas Iqbaal dengan suara beratnya.

(Namakamu) seketika terdiam, ia terdiam saat Iqbaal mengatakan bahwa dia akan ke sini.

"(Namakamu).." panggil Iqbaal dengan lembut.

"Ngapain ke sini? Aku juga nggak butuh apa-apa!"

Iqbaal menghela napasnya pelan, "abang akan ke sana untuk ambil barang yang ketinggalan. Nggak lama."

(Namakamu) yang mendengar itu seketika mematikan teleponnya, ia semakin kesal. Ia meletakkan ponselnya sembarangan, ia semakin terisak nangis.

"NGAPA GUE JADI CENGENG GINI SIH!AAA...," teriak (Namakamu) kesal sembari mengusap airmatanya.

**

Bersambung

Komentar minimal 40. Don't spam comment

Next cepat!

ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang