LTP-13

426 24 0
                                    

Suasana ibukota semakin padat dengan berbagai kendaraan saling berklakson satu sama lain. Malam menjemput tepat ketika Kira mengistirahatkan tubuh di balkon kamar. Seperti hari-hari sebelumnya, Kira menatap langit yang bertabur bintang. Ada sebagian dalam dirinya yang masih tidak dimengerti. Ia bukan menuntut apalagi menyalahkan Sang Pencipta, tapi kalau boleh jujur, Kira ingin semuanya baik-baik saja. Terutama pada kekuatan yang ia punya, dan ia dibuat tambah menyesal ketika kekuatan itu tanpa sengaja tersalurkan yang semestinya tak boleh terjadi.

“Bunda, aku kangen. Apa Bunda sekarang lagi melihat aku?” Persis setiap ia merasa bersalah, mendiang Bunda selalu terbayang dan rasa ingin bertemu semakin memborbardir dirinya.

Meski Kira tahu kalau yang ia lakukan ini adalah sia-sia, tapi cukup membuatnya merasa tenang. “Bunda, aku pengen cerita kalau sekarang aku sudah masuk sekolah formal. Sekolah yang sejak dulu sempat aku takuti. Awalnya aku menolak, karena aku pikir mereka semua akan melakukan hal buruk padaku. Nyatanya nggak semuanya kok, ada beberapa teman yang baik bahkan sangat baik sama aku.” Kira tertawa sekejap, mendadak ia teringat atas kejadian yang terjadi di toilet. Kejadian di mana sangat ia sesali, karena saran mama waktu kecil tidak ia jaga baik-baik.

Waktu itu, Kira masih kecil. Kira-kira berumur enam tahun, tepat saat ia masuk sekolah dasar. Ada suatu kejadian yang benar-benar membuatnya dikucilkan dari masyarakat sebab Kira tanpa sengaja mendorong dua orang siswi seusianya tepat ke dinding dengan amat keras. Kejadian itu tidak benar-benar seperti yang kelihatan pada masanya. Ia hanya berusaha melerai dua orang temannya yang jelas sedang bertengkar, saling menjambak rambut. Kira yang melihatnya lantas langsung melerai mereka. Spontan keduanya saling terlempar ke dinding. Kira kecil belum mengetahui bahwa ia punya kekuatan. Sampai ketika ibu-ibu dari sang anak tidak terima atas ulah tak sengajanya Kira berikut ibu dari anak-anak sekelas yang menyaksikan ibu-ibu dari dua anak marah-marah pada mama Kira saat itu, mengakibatkan nyali Kira merosot jauh sampai-sampai ia tidak ingin bersekolah kembali. Dan sejak itu, ia mulai homeschooling atas keinginan Papa yang berharap Kira menjadi anak terdidik.

Kira kecil mengurungkan diri sangat lama, berhari-hari karena takut ibu-ibu dari temannya itu kembali marah-marah ke rumahnya. Lantas mama harus bersusah payah mengajak Kira untuk mengumpulkan kondisi psikisnya yang mana dokter-dokter pun banyak dilanda bosan begitu Kira tak bisa dibujuk dengan berbagai macam cara. Bermalam-malam dokter berusaha hingga mama menyerah begitu saja. Pada suatu titik mama menyerah, karena tepat dua hari Kira tak keluar dari kamarnya padahal ia harus makan dan melakukan ini-itu layaknya anak seusianya, mama menangis. Tersedu-sedu di depan pintu kamar Kira.

Kira kecil yang mendengar tangis mama tersedu-sedu lantas langsung keluar dari kamar. Semudah itu, sebab Kira kecil tahu kalau mama hanya seorang diri di rumah. Papa tidak ada di rumah, beliau bekerja di luar kota yang tak memungkinkan bertinggal di rumah.

“Mama? Aku baik-baik aja, kok.” Kira kecil melihat mama menangis di antara lekukan kedua lututnya.

“Mama jangan nangis lagi.” Mendengar suara Kira yang seperti sebuah keajaiban, mama langsung merengkuh Kira erat-erat. Beliau merasa sangat senang ketika Kira kembali ada di dekatnya, ada untuknya.

“Kira? Maafin Mama, ini semua salah Mama,” ucap mama langsung mengundang keheranan pada si Kira kecil. “Mama baru sadar kalau kamu adalah sekian dari keturunan keluarga kita yang spesial, bahkan sangat spesial.”

“Maksud Mama?”

“Kamu bermutasi jadi anak yang mempunyai kekuatan super. Kamu punya kekuatan lebih, Nak. Kekuatan kamu itu akan keluar jika kamu sedang merasa takut.”

Kira melongo. Ia baru menyadari kalau dirinya punya kelebihan seperti itu, meski ia tidak mengerti apa mutasi, tapi ia tahu kalau itu sangat berbahaya. “Aku juga nggak tahu, padahal aku melerai mereka cuma pelan, nggak seperti yang terjadi, Ma. Mama harus percaya sama aku.”

“Mama percaya, Nak. Karena kamu anak baik-baik. Makanya Mama belum sempat memberi tahu kamu tentang ini. Namun Sayang, kamu nggak seharusnya mengeluarkan kekuatan kamu ke orang lain. Malah tidak boleh, karena akan membahayakan diri kamu sendiri. Kecuali kamu berada dalam keadaan yang benar-benar mendesak.”

Kira menakutkan alis. “Keadaan mendesak seperti apa, Ma?”

“Keadaan yang mana bisa berdampak pada kebahagiaan seseorang serta keselamatan banyak orang.” Mama mengecup kening Kira kecil. “Janji ke Mama ya Nak kalau kamu tidak akan mengeluarkan kekuatanmu ke orang lain? Karena selain itu tidak baik, akan fatal akibatnya.”

Kira kecil menatap kelingking mama sebentar, lalu menautkan kelingkingnya pada kelingking punya mama. “Janji. Kira akan selalu ingat dengan saran Mama.”

“Terima kasih Sayang,” ucap mama lembut sembari memeluk anaknya. “Oh ya Nak, kamu belum makan kan? Yuk kita makan. Dua hari ini, kamu ngapain aja di dalam? Mama sangat khawatir sama kamu sayang.”

“Kira belajar Ma. Meski Kira kemarin udah memutuskan untuk nggak sekolah lagi, tapi Kira nggak mau ketinggalan pelajaran. Di dalam kamar aku cuma nggak mau dimarahin lagi sama ibu-ibu itu. Aku takut, Ma.”

“Kok kamu masih keliatan segar begini, sih? Kamu dapat makanan dari mana?”

“Aku makan biskuit yang Mama kasih kemaren lusa.” Kira kecil tersenyum, kembali Mama memeluknya sambil beranjak dari duduk. Beliau benar-benar tidak menyangka jika Kira tahan dengan hanya sebungkus buskuit yang beliau beri dua hari yang lalu.

“Iya. Pokoknya kamu sekarang harus makan nasi. Mama udah buatin kamu sup telur puyuh kesukaan kamu.”

Kira kecil terperangah sekejap di gendongan mama lalu tersenyum riang. “Yeaaay, yuk kita makan.”

Let’s Go!” Mama berhasil memeluk mentarinya kembali. Setelah nyaris beliau putus asa. Ketakutan-ketakutan pada Kira yang terbayang musnah sudah saat beliau melihat senyum merekah anaknya.

Karena cukup hanya itu, seorang mama akan lupa pada raganya yang letih serta kesakitan-kesakitan yang mereka rasakan.

Love The PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang