Part 34

251 16 1
                                    

Rambut Kira terlihat berombak seiring langkah kaki yang semakin cepat. Napas terengah-engah, ia berpegangan pada pintu gerbang. Diedarkannya pandangan di sepanjang jalan kompleks perumahan. Nihil, tidak ada satu pun mobil Jeep terparkir di sana. Menghilang tanpa jejak.

"Ke mana mobil itu pergi? Kok cepet amat ngilangnya," rutuk Kira.

Padahal, tadi jelas-jelas ia melihat mobil itu parkir di sana, dan tidak mungkin salah lihat. Ia juga sangat yakin jika ia tidak berhalusinasi, cowok berjaket dan bermasker hitam itu mengawasinya.

"Sayang, kamu kenapa lari-lari ke situ?" Panca menepuk pundak putrinya.

"Papa tadi lihat mobil Jeep yang tadi parkir deket situ nggak?"

"Dari tadi Papa nggak keluar rumah. Kenapa emangnya?"

Kira mengusap wajah dengan kasar. "Kira lihat dari balkon kamar, mobil Jeep itu parkir di seberang rumah kita."

"Mungkin itu tamu tetangga."

"Di dalam mobil itu ada Krisna, Pa!"

Panca tertegun, mengawasi putrinya dengan berbagai pertanyaan. Sebesar itukah cinta Kira terhadap Krisna, sehingga sampai berhalusinasi? Gadis itu tidak bisa dibiarkan terlalu larut dalam duka.

"Sayang, masuk ke dalem dulu, yuk!" Panca menyentuh punggung Kira, menuntun gadis itu kembali ke dalam rumah.

Duduk bersebelahan di sofa, Kira menyandarkan kepala di pundak ayahnya. Sementara itu, Panca mengusap pundak gadis itu dengan lembut.

"Sayang, bisa 'kan lupain Krisna? Bukankah kamu udah belajar dari kepergian Mama, bahwa sesuatu yang sudah pergi tidak perlu ditangisi, apalagi kalau kamu sampai berhalusinasi kayak gitu. Ini di luar batas kewajaran."

Tanpa menatap wajah Panca, Kira menjawab, "Kira tau, Pa! Lagipula Kira juga nggak bohong, dia bener-bener Krisna. Bukan cuma Kira aja, temen Kira juga ada yang pernah lihat Krisna di dalem mobil yang sama. Kira yakin Krisna masih hidup."

"Papa tau ini berat buat kamu, tapi Papa mohon, lupakan semua tentang Krisna."

Melupakan seseorang yang dicintai, terlebih dia adalah cinta pertama, itu tidak mudah. Bagaimana mungkin Panca mengatakan itu pada Kira? Oke, Kira tahu jika maksud Panca itu tidaklah buruk, tetapi gadis itu butuh waktu.

Benar, melupakan seseorang tidaklah semudah membalik telapak tangan. Akan tetapi, Kira yakin apa yang dilihatnya adalah nyata. Sayang tidak ada satu pun orang yang percaya, terkecuali Ara.

***

Berkali-kali Angga menekan bel pintu rumah Abila, tetapi tidak ada yang membukanya. Hampir saja ia membalikkan tubuh dan mengurungkan niat untuk menemui gadis itu. Namun, di saat yang sama pintu mendadak terbuka.

Abila tertegun sembari memegang handle pintu kuat-kuat. Gadis itu tidak menyangka bahwa yang datang adalah Angga. Ia sama sekali tidak mengharapkan kehadiran cowok itu. Akan lebih menyenangkan jika Devan yang berdiri di sana.

"Hai ...." Angga melambaikan tangan. "Nggak ngajakin gue masuk?"

Berpikir sejenak, Abila lantas melebarkan pintu dengan setengah hati. "Oke, lo boleh masuk."

Angga mengangkat bahu. Abila tidak tulus mengizinkannya masuk. Masa bodoh, Angga tidak peduli. Ia pun berjalan di belakang Abila, lantas duduk di sofa setelah cewek itu mempersilakan.

"Santai aja, gue nggak bakal ngebahas masalah kemarin-kemarin kok. Seperti yang pernah gue bilang, cinta nggak bisa dipaksain." Angga menghela napas sejenak, lalu melanjutkan, "Yah meski ini berat, tapi gue berusaha buat ikhlas."

Love The PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang