LTP-28

239 19 0
                                    

Kira menutup pintu kamar, berjalan menuju ruang tengah. Malam sudah mulai larut, tetapi entah mengapa ia sulit memejamkan mata. Memikirkan Krisna? Mungkin saja. Bagaimanapun juga kejadian Krisna tidak masuk sekolah tanpa keterangan, membuat cewek itu gelisah. Ditambah lagi, ponsel Krisna tidak bisa dihubungi. Lengkap sudah kegelisahan Kira.

Di sofa ruang tengah, Panca sedang sibuk berkutat dengan laptop, menyelesaikan pekerjaan kantor. Sebuah gelas bening berisi air putih tergeletak di meja, bersisian dengan toples biskuit. Kira membuka tutup toples dan mengambil isinya.

"Malem, Pa!" sapa Kira sembari menggigit biskuit rasa cokelat.

Panca mendongak sebentar, tersenyum pada putrinya. "Malem juga, Sayang! Belum tidur? Udah jam sepuluh, loh!"

"Belum ngantuk. Papa mau kopi?"

"Ah, iya. Tolong buatkan satu untuk Papa."

"Oke."

Kira beranjak ke dapur, mengambil toples berisi gula dan kopi dari lemari makanan. Diambilnya juga sebuah cangkir berukuran sedang, lantas cewek itu segera meracik minuman favorit ayahnya. Setengah sendok gula dan tiga sendok kopi hitam. Panca tidak suka kopi yang terlalu manis.

Setelah menambahkan air panas dan mengaduknya hingga gula larut, Kira membawa cangkir itu ke hadapan Panca. Aroma harum yang khas menguar dari kopi yang mengepulkan asap tipis.

"Makasih, Sayang."

Kira hanya bergumam singkat. Ia mengalihkan tatapan pada tayangan komedi di TV. Hanya sejenak, cewek itu mengusap wajah dengan kasar.

"Ada masalah? Kok gelisah gitu?" tanya Panca.

"Nggak kok, Pa. Kira baik-baik aja."

"Yakin?"

"Keliatan banget ya, Pa?"

"Tentu saja. Papa merawatmu dari kecil. Sekalipun kamu cuma diem, tapi Papa bisa ngerti apa yang sedang kamu rasain. Krisna lagi?"

"Papa kayak paranormal aja, bisa baca pikiran orang." Kira terkekeh. Percuma berbohong, Panca selalu bisa memahami perasaan putrinya.

"Masih inget pesen Papa, Sayang?"

"Utamakan belajar, lupakan urusan cowok."

Panca meraih cangkir dan menyeruput isinya. Kopi pahit yang selalu bisa mengurangi rasa penat setelah seharian bekerja di kantor. Ditatapnya wajah Kira, lantas tersenyum. "Baguslah kalau kamu selalu inget pesen Papa. Tapi jangan cuma diinget, harus diterapkan juga. Sekarang kamu sibuk mikirin Krisna. Terus apa kamu yakin kalau Krisna juga lagi mikirin kamu?"

Kira mengangkat bahu. "Hari ini Krisna nggak masuk sekolah tanpa keterangan."

"Oh, jadi itu yang bikin kamu galau sampai nggak bisa tidur. Kamu bisa telepon dia, 'kan?"

"Itu masalahnya, Pa. Ponsel Krisna nggak aktif."

"Hem ... gitu. Atau barangkali dia emang suka bolos."

"Krisna itu Ketua Osis rajin. Kata temen-temen ini untuk pertama kalinya Krisna bolos sekolah."

"Baru juga nggak ketemu sehari, tapi putri Papa udah kelimpungan kayak nggak ketemu setahun."

"Ih, Papa kok malah ngeledek, sih?" Kira mencebikkan bibir, disambut oleh tawa ayahnya. "Udah ah, Kira mau ke kamar lagi. Malem, Pa!"

"Oke, malem juga, Sayang. Makasih kopinya!"

Sesampai di kamar, Kira dikejutkan oleh sepuluh missed call dari Abila. Dahinya berkerut, ada hal penting apa sehingga teman sebangkunya itu menelepon malam-malam begini? Ingin bertanya tentang PR matematika?

Love The PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang