LTP-11

476 27 0
                                    

Abila mesem-mesem konyol saat tiba di dalam kelas. Bel istirahat sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Ia tidak bisa mengatur ekspresi senatural mungkin, untuk menutupi bagaimana perasaannya sekarang.

Seharusnya, Abila tahu mana perkataan modus daripada perkataan yang sejujurnya. Alih-alih memikirkan itu semua, yang ada hatinya meletup-letup setelah Angga bilang kalau cowok itu ingin mendekatinya. Dekat dalam persepsi entah apa, yang jelas Abila senang ketika Angga mengatakan kalimat yang benar-benar membuatnya seakan-akan menjadi seseorang paling beruntung di dunia.

“Lo kenapa dah, Bil? Roman-romannya, lo lagi bahagia nih,” ucap Devan mendadak ketika melihat senyum Abila mengembang tidak sejudes biasanya. Ia baru saja masuk ke kelas, kemudian melihat ekspresi Abila layaknya orang yang baru saja jatuh cinta atau seperti orang yang ketiban rezeki seabrek. Namun, ia percaya pada opsi pertama. Sebab dalam sejarah peradaban, Abila hanyalah cewek dengan kadar senyum yang tipis, sekali-kalinya senyum pasti bisa dihitung dengan jari. Lantas ia sudah was-was jika perkiraannya benar. Ketakutan-ketakutan akan kehilangan Abila yang dulu ada perlahan muncul kembali semenjak akhir-akhir ini ia jarang berkomunikasi dengan cewek itu. Ia hanya tidak ingin sahabatnya menjauh.

“...”

“Dikacangin. Oke, fine!” Dengan berlagak marah ia berniat duduk di kursinya, tapi Abila tiba-tiba saja menahan tangannya. “Ada apa? Kalau ada perlu, baru ngejar. Dasar emang!”

“Eh! Dengerin dulu. Gue mau nanya dikit aja,” kata Abila yang membuat alis Devan langsung bertautan.

“Apa?”

“Biasanya kalau lo suka ke cewek, apa harus ngode dulu, sih?”

Devan terheran. “Hah, maksud lo?”

“Waktu lo suka ke satu cewek, lo nembaknya langsung atau ngasih kode dulu biar dia tau kalau lo suka?” jelas Abila. Mungkin, ia bertanya hanya sekedar penasaran pada perkataan Angga tadi. Ia tidak ingin terlalu berharap pada laki-laki macam Angga. Apalagi ia tahu situasinya akan pelik jika ia berpacaran dengan Angga. Maka dari itu, ia tidak ingin terburu-buru semisalnya yang Angga katakan benar.

“Kalau gue sih langsung nembak ya. Secara, gak ada di kamus gue yang namanya kode-mengode. Bakalan ribet, jadi ya gue realistis aja,” jawab Devan sekenanya. “Emang kenapa? Ada ... yang lagi berusaha deketin lo memang?”

“Hm, lo gak usah kepo! Ini urusan gue, hehe. Jadi, hush! Pergi sana!”

“Dih, dasar aneh.”

Abila membulatkan mata. “Siapa yang lo bilang aneh?!”

“Lo.”

Raut wajah Devan sudah tak cerah ketika mendengar pertanyaan Abila barusan. “Jangan kepedean ngecap orang suka ke lo. Kalau dia belum nembak lo secara blak-blakan, berarti lo bukan orang yang paling dia suka.” Devan terus berjalan ke kursinya, dengan gerakan yang malas-malasan.

Sejujurnya, Devan memang tidak suka melihat ada orang lain yang sedang berusaha mendekati Abila. Sejak SMP, ia dan Abila sudah bersahabat. Kenapa tidak, sebab mereka juga bertetangga dekat. Ibu mereka merupakan anggota seforum arisan yang tidak bisa dibilang biasa saja. Untuk itu, Devan sering melihat Abila diajak ke rumah bersama ibunya sendiri lantas bertemu di SMP, dan menjadi dekat sampai sekarang. Ibu Abila juga sering menitipkan anaknya jika sedang di sekolah. Bukan apa-apa, hanya saja Ibu Abila tak ingin anaknya bergaul dengan orang-orang yang salah. Dari situlah Devan tidak pernah menyetujui Abila untuk berpacaran dengan cowok lain.

“Ganteng nggak orang itu? Pasti jelek. Ih, udah jelas itu mah. Lagian lo kan juga jelek,” ujar Devan sengaja pada Abila. Di dalam kelas itu hanya tersisa mereka berdua, karena jam istirahat sedang berlangsung. “Pendek pula, tuh!”

Love The PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang