Part 32

272 16 5
                                    

Bel istirahat berbunyi, Pak Gugun membereskan buku matematika di meja guru. Sementara itu, para siswa mendesah lega karena pelajaran yang membuat otak panas akhirnya berakhir

Usai Pak Gugun meninggalkan kelas, Angga bergegas menarik tangan Abila menuju taman belakang sekolah. Cewek itu terlihat bersungut-sungut kesal, malas berurusan dengan cowok yang dulu pernah dicintainya. Ayolah, Abila benar-benar tidak ingin membahas masalah mereka. Baginya, semua sudah berakhir.

Sesampainya di taman, Abila menghempaskan tangan Angga. Ia menatap mata hitam itu dengan tajam. Seolah ada rasa tidak terima karena Angga membawanya dengan paksa.

"Bil, jangan marah dong!" Tatapan mata Angga melembut. "Gimana, lo suka sama bunga dan boneka yang semalem gue kasih?"

"Gue sama sekali nggak minta barang-barang itu sama lo!" tegas Abila.

"Itu sebagai tanda kalau gue serius cinta sama lo!"

"Kasih aja cinta itu buat Angel."

"Masalah gue sama Angel udah selesai. Angel juga udah bisa nerima kalau cinta nggak bisa dipaksain."

Cewek berambut panjang itu menghela napas berat. Ada setitik air mata yang mengambang di pelupuk matanya. Ia memalingkan wajah seraya berucap lirih, "Artinya lo tau 'kan kalau cinta nggak bisa dipaksain? Mulai sekarang, jangan paksa gue buat cinta sama lo lagi ...."

"Maksud lo apa, Bil?"

"Gue cinta sama Devan."

Angga menggeleng kuat-kuat. Ia pasti hanya salah dengar. Buku diary itu sudah menjawab semua pertanyaan dalam benaknya. "Lo nggak salah ngomong, 'kan? Jangan bikin pengakuan palsu. Gue tau kalau lo cinta sama gue. Gue udah baca semua isi buku diary lo tentang cowok berinisial 'A'. Itu bukan Devan!"

"Buku diary yang mana?"

"Buku diary bersampul ungu. Itu punya lo, 'kan? Sorry, gue nemuin itu tapi belum sempet gue balikin."

Abila menyugar rambutnya dengan kasar. Beberapa minggu ini ia mencari-cari buku diary miliknya yang hilang entah ke mana. Ternyata Angga yang menemukannya dan ... membaca isinya? Oh, astaga! Terbongkar semua rahasia hati untuk cowok berinisial 'A'.

Cewek itu kembali memandang wajah Angga dengan jengah. "Oke, gue ngaku kalau cowok berinisial 'A' itu emang elo. Tapi ternyata selama ini gue salah ngartiin perasaan gue sendiri, Ngga! Perasaan gue ke lo, cuma sebatas rasa kekaguman belaka. Sama sekali bukan cinta."

"Jangan bohong, Bil!" seru Angga tidak terima. Ia mencengkeram pundak Abila hingga cewek itu meringis kesakitan. "Lo bilang gini cuma buat ngejauh dari gue? Please, kasih gue kesempatan satu kali lagi."

Abila menggeleng lemah, lantas menepis tangan Angga. "Bukannya lo sendiri yang bilang, cinta nggak bisa dipaksain. Jadi, jangan pernah maksa gue buat cinta sama lo. Karena cowok yang gue cintai adalah Devan, temen yang selalu ngertiin gue di saat suka maupun duka."

"Bil, jangan bikin gue gila! Gue nggak bisa kehilangan lo dengan cara gini!"

"Nggak usah teriak gitu, Ngga! Malu kalau sampai ada yang denger."

"Gue nggak peduli. Biarin aja seluruh dunia tau perasaan gue ke lo."

"Please, Ngga! Tolong lupain gue. Gue bener-bener salah ngartiin semua ini. Ini bukan cinta."

Kedua tangan Angga mengepal erat, lantas ia meninju dinding dengan kepalan tangan kanan. Tidak peduli pada rasa nyeri di buku-buku jarinya. Ia takut kehilangan cewek yang selama ini dicintai, titik.

"Oke, kalau itu bukan cinta, seenggaknya lo bisa belajar mencintai gue. Cinta itu bisa hadir karena terbiasa, Bil!"

"Jangan jadi cowok egois yang kebanyakan teori! Lo bisa ngomong gitu, terus kenapa lo nggak bisa belajar cinta sama Angel, hah?"

Love The PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang