Part 35

270 15 5
                                    

Apakah puisi selalu bertudung? Bersembunyi dibalik bayangan untuk menyembunyikan makna tersirat? Apa ketika aku berkata bahwa aku mencintaimu, itu bukan sebuah puisi?

-Krisna Datapati

Biasanya, ruangan penuh rak-rak menjulang nan tinggi berisikan buku-buku akan memberikan Krisna suatu kenyamanan.

Biasanya pula, suasana tenang dan sunyi yang diiringi bunyi jarum jam berputar adalah nada paling indah, yang membuat Krisna hanyut dan melakukan berjam-jam aktivitas yang sama. Belajar.

Namun, kini semua berbeda. Ruangan kokoh berisikan jendela ilmu yang selalu membuat Krisna nyaman, kini berubah menjadi penjara dunia.

Sepi

Sunyi

Sendiri

Ah, andai saja saat itu Krisna mau bersabar sedikit lagi, tentulah ia takkan berada dalam situasi menyedihkan ini.

Lihatlah anak itu. Ia kini tengah sibuk menjambak rambutnya frustrasi. Alunan musik klasik beserta tumpukan buku sejarah kontemporer tidak bisa membuatnya sedikit lebih tenang.

Krisna berdiri dari kursi, lantas melempar tubuhnya ke atas kasur.

Ia merogoh ponsel di saku celana jeans-nya, kemudian menggeser lockscreen dengan jari telunjuk. Perlahan kedua sudut bibirnya terangkat.

Rasa rindu yang menyeruak semakin menguat, tatkala matanya memandang wallpaper ponsel tersebut. Terlihat figur Kira sedang duduk di kursi mobil sambil tersipu malu.

“Lo apa kabar?” Krisna bermonolog.

“Lo baik-baik aja, ‘kan?” Cowok itu beralih membuka galeri untuk melihat lebih banyak foto Kira yang ia ambil secara diam-diam.

“Sekolah lo gimana? Pasti baik-baik aja, ya?”

“Abila. Dia udah baikan belum sama Angga? Agak kasihan juga gue ngelihat si Angga yang biasanya dikejar-kejar cewek, kini malah jadi budak cinta yang benar-benar ngebet sama cewek judes itu.” Krisna terkekeh geli kalau mengingat saat-saat itu.

“Ada yang masih suka gangguin lo, nggak? Gue yakin Devan sekarang udah tobat gara-gara selalu ada terus buat Abila. Kalau Elang? Oh, iya, dia sekarang lagi gencar-gencarnya ada di sebelah Angel, ‘kan?” terka Krisna.

Seketika dada Krisna terasa sesak. Ia benar-benar merindukan saat-saat di mana ia dan Kira membuat deretan memori. Ia rindu gadis itu. Kira yang polos, Kira yang tidak percaya diri, Kira yang murah senyum, Kira yang terlalu pemalu untuk mengatakan bahwa ia tengah cemburu, Kira yang— Ah, semua hal tentang Kira selalu membuat Krisna jatuh cinta.

Lebih dalam, semakin dalam.

Siapa yang menyangka, kalau gadis pindahan itu membuat masa-masa sekolah Krisna lebih berwarna.

Siapa juga bakal menyangka, kalau Kira adalah kepingan puzzle yang tiba-tiba hadir dan mengisi lubang hitam dalam hati Krisna.

“Gue minta maaf, Ra, gue belum bisa ada di samping lo lagi. Gue minta maaf udah bikin lo sedih gara-gara skenario palsu yang gue buat ... demi Tuhan, gue cuma pengen berdua sama lo misal ini hari terakhir dalam hidup gue.” Krisna memejamkan mata.

Ia beralih mendekap guling, membayangkan kalau obyek itu adalah gadis pujaannya.

Cklek

Pintu kamar Krisna terbuka, bersama dengan sosok wanita renta yang muncul tiba-tiba. Buru-buru Krisna melepas pelukannya dan menetralkan ekspresi ke mode datar. Tidak mungkin juga cowok yang biasanya terlihat dingin tiba-tiba merengek gara-gara seorang gadis.

“Nenek?”

Wanita tua itu memasang senyum teduh. “Ada yang nyariin kamu, tuh.”

“Siapa, Nek?”

Love The PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang