LTP-3

713 47 8
                                    

---

"Cuy, ntar gue pinjem duit lo dulu, ya!"

"Ya elah, selalu aja gitu. Modal dikit, dong!"

"Ga, gue bonceng lo, ya!"

Dari belakang, diam-diam Krisna mengawasi ketiga anak tersebut. Padahal jarak antara ia dan anak-anak itu begitu dekat. Namun, untuk menyapa mereka rasanya sungguh berat. Di satu sisi, hati kecilnya berteriak agar sifatnya yang tertutup bisa berubah, tapi di sisi lain, ia ingin tetap menjadi dirinya yang suka menyendiri.

Krisna mengepal kedua tangannya kuat-kuat. Ia tidak akan tahu sebelum mencoba. Oleh karena itu, ia memilih untuk memberanikan diri.

"Tunggu!" panggil Krisna setengah berteriak.

Ketiga anak itu menoleh bersamaan, merasa bingung karena dihampiri anak yang dicap paling pendiam sekelas tiba-tiba.

Krisna mengatur tempo napasnya yang sempat tidak beraturan, "Lo semua mau ngapain?"

"Kita mau nonton," jawab salah satu di antara mereka.

"Gue boleh ikut?"

"Jangan deh! Kita cuma punya helm tiga doang, takut ditilang Polantas," timpal anak yang lain.

"Ta-tapi, gue tau jalan aman, kok! Gue ikut, ya!" ujar Krisna tak menyerah.

"Gak deh, kita takut ditilang. Udah ya, takut film-nya keburu mulai. Dadahh!"

Krisna terdiam lesu di tempat ia berdiri. Sorot matanya berubah menjadi sayu, menandakan kekecewaan. Ia hanya bisa memandangi kepergian mereka bertiga dengan rasa ingin yang tidak terwujudkan.

"Kenapa tadi dia gak diajak aja?"

"Jangan deh, dia itu anaknya sok cool. Selalu jaga jarak dari orang lain, dan gak pernah gabung sama anak lain. Dia juga gak bisa diajak kerja sama pas ulangan. Kita bakal canggung kalo ajak dia."

Krisna masih bisa mendengar sayup-sayup pembicaraan mereka. Ia menghela napas pasrah.

Padahal gue udah usaha buat membuka diri, batinnya sambil melangkah gontai.

Pendengarannya menangkap suara anak-anak SMA yang berbondong-bondong keluar dari gerbang sekolah. Tidak ada satu pun anak yang berjalan sendiri seperti dirinya dan itu membuatnya kesal.

Bukannya sok cool, tapi gue merasa gak nyaman dengan keramaian.

Krisna menghentikan langkah kakinya. Entah mengapa, aspal hitam jalanan terasa sangat nyaman untuk didiami. Krisna mendongakkan kepala ke atas, menatap awan yang berarak di langit. Tangannya terangkat ke atas, seperti hendak meraih sesuatu di langit. Ia tidak peduli lagi dengan orang-orang yang melempar pandangan aneh atas dirinya.

Apa selamanya bakal terus begini?

***

Krisna mengerjapkan kedua mata. Tubuh cowok itu seakan dibawa ke masa lalu oleh kenangannya sendiri. Ia melihat sekeliling dan tidak menemukan siapa pun. Benar-benar sendiri.

Krisna menopang dagu, menatap jendela kelas yang menghubungkan sekolah dengan dunia luar. Lagi pula, ada atau tidak adanya seseorang di dekatnya, ia tetaplah sendiri.

Ia beranjak dari tempat duduknya untuk keluar dari ruangan kelas. Bila sudah begini, hanya ada dua tempat yang bisa Krisna tuju. Antara perpustakaan atau ruangan pribadi khusus milik ketua osis.

Ah, tapi ia sedang tidak ingin berkutat dengan kesibukan yang merepotkan.

Nampaknya perpustakaan adalah pilihan terbaik. Ia juga ingin mencari buku mengenai rekayasa genetika.

Love The PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang