LTP-14

444 23 2
                                    

Inilah hidup. Tiada yang tahu apa yang terjadi. Esok, apalagi hari-hari setelahnya. Alam telah berkonspirasi menciptakan apa yang telah Tuhan rencanakan.

Kira mempercayai itu. Belum lama ia menjalani hari dengan Abila, menghabiskan hari dengan canda tawa, kemudian tiba-tiba hal yang tidak diinginkan terjadi, merenggut semua kenyataan yang ada.

“Gue takut, Ra. Gue takut....” Abila tak henti-henti mengucapkan kata itu ketika Kira datang di saat ia membutuhkan. Seperti saat ini, di lorong rumah sakit, tepat di depan ruang ICU di mana Devan berada. Devan masih diperiksa oleh pihak rumah sakit, hampir setengah jam lamanya. Membuat Abila direnggut ketakutan jika saja Devan tak terselamatkan.

Tangan Kira masih melingkar di tubuh Abila. Cewek itu berusaha untuk menenangkan sahabatnya. “Ingat nggak, kata kamu dulu? Kamu pernah bilang, meski kamu tidak menyukai sifat dan sikap Devan yang memalukan, tapi kamu selalu tertawa ketika melihatnya,” ujar Kira dengan bisikan pelan. “Ada saatnya tawa itu berhenti untuk mewarnai hari-harimu. Pasti kamu tahu, tepat saat dia udah nggak di dekat kamu lagi. Ya, kan?”

Abila mengangguk. Kira kembali bersuara dengan tenang. “Sama halnya dengan apa yang menimpa Devan sekarang. Kita tidak bisa tahu skenario Tuhan, dan kamu harus yakin kalau apa yang menimpa Devan adalah salah satu dari skenario-Nya.” Kira menghela napas. “Sekarang, tugas kamu cuma berpikir positif kalau Devan akan kembali membuatmu tertawa, karena aku yakin, Devan bukan cowok yang lemah. Dia pasti akan berusaha sembuh untuk kamu juga.”

Abila makin merapatkan kedua tangannya pada lingkar pinggang Kira. Seperti tidak ingin sahabat bijak yang ia punya ini pergi darinya barang sedetik pun. “Thanks, Ra. Gue beruntung punya sahabat kayak lo. Kenyataannya memang begitu, gue terlalu takut kalau Devan kenapa-kenapa. Dia itu dunia gue, Ra. Lo ngerti kan gimana perasaan gue?”

Kira mengangguk, sangat mengerti apa yang Abila rasakan. Seorang perempuan memang paling tidak bisa merasakan suatu hal yang sakitnya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Berbeda dari laki-laki, mereka punya banyak cara untuk memecahkan masalah yang ada. Karena kodratnya memang seperti itu, perempuan akan mengedepankan perasaannya terlebih dahulu ketika masalah menikam tiba-tiba. Kira berniat mengusap air mata Abila, akan tetapi sebuah kotak nasi terulur di hadapan mereka.

“Lo harus makan, Bil.”

Kira mengangkat alis, ekspresi  wajahnya berubah tegang. Sadar kalau Angga berkata bukan padanya, ia lebih memilih memandang wajah Abila dalam-dalam. “Kamu belum makan, Bil?”

Tidak ada sahutan dari Abila. Ia masih kepikiran dengan apa yang dilakukan Angga kepadanya tadi. Terangnya, menyuruh ia tenang dalam keadaan di ujung tanduk. Bukan apa-apa, mungkin Abila bisa tidak memedulikan Devan jika saja cowok itu tidak berkala-lama di ruang ICU, mungkin Abila bisa tenang jika saja Devan hadir di depannya dengan tingkah konyolnya kembali, mungkin Abila akan mengikuti tawaran Angga untuk segera makan di saat perutnya benar-benar lapar jika saja ia tidak mengetahui fakta kalau kendaraan yang ia tumpang bersama Devan tadi hancur. Di saat bersamaan, kejadian yang amat ia takuti dan sesali kembali berputar dalam kepala.
Menciptakan rasa sesak luar biasa hingga membuatnya ingin teriak-teriak kepada Angga untuk tidak hadir di hadapannya.

“Gue mohon, lo terima pemberian gue. Gue emang brengsek, nggak bisa ngerti dengan situasi yang lagi lo rasain sekarang. Tapi, seenggaknya lo ambil kotak nasi ini, gue nggak mau lo sakit, Bil.”

“BERISIIIKK!” Suara Abila keluar begitu keras membuat Angga dan Kira tersentak kaget secara bersamaan. “Gue nggak mau makan pemberian dari orang yang nggak tau diri! Orang yang biasa aja padahal sohibnya lagi berusaha untuk bertahan hidup. Gue–”

“Ssstt....” Kira bertindak untuk menenangkan Abila. “Jangan gegabah, aku mohon, Bil. Nanti yang ada kamu diusir kalau teriak-teriak begini.”

Love The PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang