LTP-1

2.1K 99 13
                                    

Ini merupakan cerita dari buku pertama series remaja.
Harap Vote sebelum membaca.

---

Kira menatap pantulan dirinya di cermin. Seragam putih abu-abu yang menempel pada tubuhnya dirasa seperti sebuah beban baru yang mengerikan.

Terang saja, hari ini adalah hari yang paling ia takutkan kedatangannya, karena hari ini ia akan menginjakkan kaki di sekolah formal untuk pertama kali.

Ya, pertama kali.

"Nggak ada yang kelupaan, 'kan?"
Kira menoleh mendapati suara itu, ia kemudian menggeleng pelan sembari tersenyum menunduk.

"Nih, bekal kamu masih di meja makan, nanti kalau ketinggalan gimana?" ucap pemilik suara tadi.

Dengan lembut ia membuka bagian belakang ransel yang Kira kenakan dan memasukkan kotak bekal tadi.

"Kamu takut?"

Sangat bohong kalau Kira bilang tidak. Bayangkan saja, sebelas tahun lamanya ia mengenyam pendidikan secara homeschooling. Ia bahkan sudah merasa cocok dengan Bu Widya, guru yang setiap hari mengajarnya.

Ia merasa nyaman berada dalam penjara kesunyian yang bernama rumah.

"Sayang, kamu harus belajar buat berinteraksi dengan orang lain. Memang awalnya sulit, tapi lama-kelamaan kamu akan terbiasa."

"I-iya bakal aku usahain," balas Kira sambil menempelkan kedua telunjuknya. Hal tersebut selalu ia lakukan kala rasa gugup menyerang raga.

Kata-kata itu adalah ucapan yang tidak pernah Kira harap menjadi sebuah kenyataan. Malu, gugup, takut, semuanya bercampur aduk ketika ia harus berhadapan dengan orang lain. Kalau tidak dipaksa, Kira tidak ingin ke sana. Sebuah neraka yang bernama sekolah formal.

Sekali lagi gadis itu melihat pantulan dirinya di cermin. Dengan tangan yang gemetar ia menyelipkan anak rambutnya ke telinga, kemudian berbalik mengenakan kacamata bulat yang berada di atas meja. Kira mendesah pelan. Dengan satu tarikan panjang ia mengatur tempo napasnya.

"Kamu 'ntar nunggu di halte, terus kesana naik bus. Abis itu kamu ke bagian tata usaha buat konfirmasi sama pihak sekolah kalau kamu itu murid baru, Oke?" Kata-kata itu sudah terucap sebanyak delapan kali, seolah Kira akan tersesat bila tidak diperingatkan kembali.

Kira tak punya pilihan lain. Ia hanya mengangguk pasrah mendengar titah tersebut.

"Kalo gitu aku berangkat ya, Ma."

"Hmm ... Kira, ini 'kan Papa."

***

Kira berdecak kagum memandang bangunan megah di hadapannya.

SMA Halim Wijaya.

Sebuah sekolah bertaraf internasional yang digadang-gadang sebagai salah satu dari SMA terbaik se-Indonesia. Bahkan, dari rumor yang menyebar lewat mulut ke mulut, lulusan HW mustahil untuk tidak menjadi orang berada.

Orangtuanya selalu memberikan yang terbaik dan itu membuat Kira tersentuh. Biar begitu, Kira masih ketakutan berada di lingkungan asing dengan populasi manusia yang besar.

"Apa bedanya pemurung sama pemulung?"

"Gak tahu."

"Kalo pemurung tidak pernah gembira, kalo pemulung tidak pernah gembila hahaha, gimana? Gokil gak?"

"Kalo punya waktu buat bikin tebakan garing, mending lo belajar."
Kira menoleh mendengar percakapan 'tak lazim yang terdengar di belakangnya.

Love The PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang